GITULAH.COM — Day 52 [Ambon – Merauke]
Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.
TIGA hari di atas kapal tak membuat saya jadi terbiasa. Saya masih suka nyasar untuk menemukan tempat tidur. Padahal bolak-balik tempat yang saya tuju hanyalah ke mushala dan anjungan. Keduanya berada berdekatan di Dek 6. Namun kini saya lebih mengenal kehidupan di kapal.
Seperti hari-hari kemarin, pagi ini saya dibangunkan oleh azan Subuh yang bergema di speaker. Bergegas saya ke mushala di Dek 6, ikut shalat berjamaah.
Selama di kapal KM Tatamailau ini, saya shalat tiga kali sehari. Tapi tetap shalat lima waktu. Setiap shalat Dzuhur selalu diqasar dengan Asar. Begitu juga shalat Maghrib, selalu digabung dengan shalat Isya.
Kembali ke tempat tidur, saya langsung ambil air panas untuk nyeduh kopi. Penumpang di deretan matras saya masih pada tidur. Di televisi sedang menyiarkan siaran ulang pertandingan sepak bola antara Jepang lawan Arab Saudi.
Menu jatah makan pagi ini cukup mengundang selera saya. Nasi putih, telor dadar, daging rolade, dan sambal. Tapi tetap saja nasinya cuma habis separuh. Porsinya kebanyakan untuk sarapan.
Sepanjang pagi hingga siang saya lebih banyak duduk di kursi anjungan. Buat saya ini tempat ternyaman kedua selama berada di kapal.
Tempat ternyaman adalah mushala. Ini satu-satu ruang yang dingin, AC-nya terasa. Dan terbebas dari segala aroma manusia. Mushala hanya dibuka pada saat shalat. Di waktu Subuh, Dzuhur, dan Maghrib. Setelah itu dikunci lagi. Cukup bisa dimaklumi. Sebab kalau tidak begitu, bisa jadi mushala akan dipenuhi orang yang tidur.
Menjelang siang, kapal masuk ke sungai besar. Tidak lagi berada di laut lepas. Saya langsung paham, kapal sudah mendekati Pelabuhan Pomako, Timika.
Saya pernah ke sini beberapa tahun lalu. Bersama staf Bank Papua Rudi Citra, saya pernah ke daerah Kecamatan Kokonao untuk keperluan liputan. Kami berdua naik perahu katamaran dari Pomako.
Naik perahu kecil mengarungi laut lepas saat itu, adalah momen yang sangat menegangkan dalam hidup saya. Kebayang kalau sampai terjadi insiden di perahu, saya sudah pasrah nyawa akan melayang.
Sekitar jam 11.00 kapal sandar di Pelabuhan Pomako. Hape saya kembali mendapat sinyal, dan saya kembali bisa berkomunikasi dengan istri saya.
Pemandangan seru saya saksikan saat kapal sandar dan bertolak. Saat sandar, saya menyaksikan puluhan buruh angkut pelabuhan menyerbu masuk kapal untuk menjemput rezeki.
Sayangnya tak seperti di pelabuhan lain, di sini buruh angkut tidak menggunakan seragam. Sehingga tidak bisa dibedakan antara buruh angkut dan penumpang biasa. Apalagi para buruh ini adalah warga lokal. Yang buat pendatang macam saya merasa mereka semua sama.
Saya ikut turun bersama penumpang lain. Sambil menikmati bakso malang, saya memperhatikan para petugas mengawasi orang-orang yang turun dari kapal. Beberapa penumpang yang membawa jeriken berisi cairan dan barang bawaan yang sangat berat dihentikan petugas. Barang itu diperiksa sebelum diloloskan. Suasana pelabuhan terasa sangat ramai.
Di terminal terlihat banyak peti kemas. Namun, sayangnya di pelabuhan ini tidak ada plang nama. Padahal semua pelabuhan lain ada plang namanya. Alhasil tidak ada spot foto yang menandakan sedang berada di Timika.
Menjelang jam 12.00 saya kembali ke kapal. Duduk di anjungan menunggu waktu Dzuhur. Saya tidak mengira di kapal akan diselenggarakan shalat Jumat, lantaran saya merasa mushalanya kecil saja.
Namun, dari speaker ada pengumuman bahwa beberapa menit lagi akan berlangsung shalat Jumat. Alhamdulilah. Bagusnya lagi, “Jumatan” dilaksanakan saat kapal sedang sandar. Jadi, shalat bisa lebih khusyu.
Saat khotib naik mimbar, saya hitung makmumnya ada 13 orang. Tetapi saat dimulai, makmumnya sudah bertambah menjadi 20 orang.
Jumatan di atas kapal atau jamaah yang sedikit bukanlah pengalaman baru buat saya. Februari lalu saya pernah Jumatan di kapal ferry saat nyeberang dari Bakauheni ke Merak.
Sementara Jumatan dengan jumlah jamaah sedikit pernah saya alami sekitar tahun 2012. Saat itu saya sedang berada di daerah Ayamaru, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat. Jumatan waktu itu hanya dengan 12 orang. Itu pun tak dilakukan di masjid atau mushala. Karena tidak ada masjid atau mushala di Ayamaru.
Sekitar jam 14.00 kapal kembali bertolak dari Pelabuhan Pomako. Saat tali-tali jangkar mulai ditarik, tiba-tiba puluhan anak-anak warga lokal berlarian menyerbu kapal. Mereka berteriak-teriak bak sedang berada dalam situasi perang antar suku. Hu ha hu….
Bak atlet parkour, dengan cepat mereka melompat-lompat hingga sampai area tertinggi di kapal. Sepertinya mereka sudah biasa melakukan aksi ini, karena tidak ada seorang pun terlihat mencegah mereka.
Anak-anak ini rupanya akan melakukan unjuk kebolehan. Melompat dari kapal lalu berenang kembali ke dermaga. Sebuah atraksi yang cukup mendebarkan. Sekaligus menghibur.
Kembali ke Dek 3 tempat tidur, saya baru menyadari situasi penumpang sudah jauh lebih lengang. Rupanya lebih dari separuh penumpang kapal turun di Timika. Memang ada penumpang baru naik, tapi jumlahnya sedikit saja.
Dengan penumpang yang tidak lagi penuh sesak, saya kini merasa lebih nyaman.
Antara Timika – Asmat, 20 Juni 2025
Taufik Abriansyah