Jurus Selamat dari Tanjakan

Santai183 Views

GITULAH.COMDay 33 [Lembor – Ruteng 65 km]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com akan menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

MENGINAP di masjid bersama kawan-kawan dari Jamaah Tabligh (JT) memberi pengalaman baru buat saya. Sejak sore kemarin hingga tadi malam beberapa kali saya berdiskusi bergantian dengan mereka.

Tema diskusi tentang menjalankan sunnah nabi. Saya lebih banyak mengangguk saja karena boleh jadi tampilan saya tidak sesuai dengan sunnah nabi. Alhamdulillah menambah pengetahuan saya.

Meski boleh jadi dalam banyak hal yang saya lakukan tak sesuai sunnah nabi, tapi saya tetap berkeyakinan bahwa potensi masuk surga adalah milik semua orang.

Misalnya dalan bab menikah. Saya menikah di usia 27, tak sesuai sunnah nabi yang menikah di usia 25. Apa saya menjadi salah? Kan nggak juga.

Para ulama telah merinci perbuatan nabi, mana yang harus diteladani, mana yang khusus bagi beliau dan mana yang termasuk perbuatan mubah.

Salah seorang yang berdiskusi dengan saya, Pak Mutholib, memberi tahu jalur jalan yang akan saya tempuh hari ini (Lembor – Ruteng), akan sama beratnya dengan jalur kemarin (Labuan Bajo – Lembor). “Nanti setelah Ruteng baru jalannya menurun dan rata,” katanya.

Dia juga memberi tahu di etape saya hari ini tidak akan menemukan masjid di sepanjang perjalanan. Baru akan ketemu masjid saat sudah masuk di kota Ruteng. Wah, lumayan berat juga tantangan gowes hari ini.

Pagi ini saya bangun satu jam sebelum azan subuh. Masih cukup waktu untuk merem lagi. Tapi saya lihat semua kawan Jamaah Tabligh sedang khusyu beribadah. Ada yang sedang shalat, ada yang sedang berdoa, ada juga yang sedang membaca Al Qur’an. Hanya saya sorangan yang masih tergolek.

Saya langsung bangkit berdiri sembari membawa matras dan barang bawaan saya. Pindah ke teras bagian belakang masjid. Dekat pintu masuk perempuan. Di situ saya mengemasi barang saya.

Usai Shalat Subuh ada kultum. Pematerinya adalah Pak Mulyono, pimpinan rombongan Jamaah Tabligh. Sebagian jamaah sudah pulang, sebagian masih duduk ikut mendengarkan tausiyah. Sampai hari terang, kajian masih berlangsung. Saya beringsut mundur karena perut saya sudah bergejolak, panggilan alam.

Topik Lain :  5 Buah yang Baik untuk Diabetes

Selesai urusan tuntas, ternyata kajian belum selesai juga. Saya tak lagi masuk ke ruang utama, malah keluar masjid. Saya berjalan menyusuri pasar yang masih kosong. Aneh juga, sudah hampir jam 06.00 keadaan pasar masih pada tutup. Begitu pun terminal di depannya. Tidak ada orang satu pun.

Saya terus berjalan. Rupanya di dekat situ ada gereja. Banyak orang yang berjalan tergesa-gesa ke arah gereja. Mungkin mereka sudah terlambat. Saya yang berjalan pelan tentu menarik perhatian. Apalagi saya masih bersarung dan berkopiah sehabis Shalat Subuh tadi.

Tapi ada satu yang menarik perhatian saya. Ada pasangan setengah baya bermotor masuk ke halaman gereja. Nah, si bapak mengenakan baju lengan panjang dan berpeci. Peci khas warga Manggarai. Tampilannya sama persis dengan bapak-bapak yang hendak jum’atan.

Bagi warga suku Manggarai, mengenakan peci sudah menjadi kebiasaan mereka. Jadi di sini peci bukan sebagai identitas Muslim. Peci lebih berfungsi sebagai aksesori di kepala.

Puas melihat-lihat di sekitar pasar dan gereja saya kembali ke masjid Al Muhajirin. Ternyata saya sudah ditunggu. Saya langsung ditarik ke dapur untuk sarapan.

Seperti tadi malam, kami sarapan dengan makan bareng di satu nampan. Masing-masing berisi empat orang. Menunya nasi, ikan sardens, dan tumisan kubis. Pak Mulyono yang tadi memberi tausiyah yang menjadi juru masak.

Lalu saya keluarkan bekal andalan saya : yaitu bumbu pecel. Alhamdulillah bumbu pecel pemberian Bu Dini (tetangga saya di Cipageran) itu menjadi penambah selera sarapan pagi ini. Tidak hanya buat saya, tapi juga termasuk bapak-bapak Jamaah Tabligh.

Sekitar jam 08.00 saya berpamitan. Satu persatu bapak-bapak sepuh yang sedang ngagoler di tengah masjid saya datangi. Minta maaf kalau ada hal yang kurang berkenan, sekaligus minta dido’akan agar perjalanan saya selanjutnya dilancarkan dan dimudahkan.

Baru beberapa ratus meter mengayuh hendak keluar dari Lembor, saya sudah menyadari kontur jalan akan naik terus. Saya teringat cerita Pak Mutholib tadi malam, juga cerita Daffa yang kemarin mengangkut saya, dan cerita Pak Nuardi di Labuan Bajo, juga komentar Pak Ardi (tetangga saya di Cipageran), eta naik turun gunung, bahwa trek menuju Ruteng sangatlah berat. Akhirnya saya nyegat bus yang lewat.

Topik Lain :  Vidi Aldiano Ditunjuk Jadi Penasihat Rasa Fore Coffee

Menariknya, bus di sini memiliki besi-besi seperti tangga di bagian belakang. Fungsinya ya untuk mengangkut barang berukuran besar. Jangankan sepeda, motor pun mereka bawa. Bahkan bisa sekaligus tiga unit.

Dengan cekatan sopir dan keneknya dua orang mengikat sepeda. Saya duduk di kursi depan sebelah sopir. Ini menang kebiasaan saya setiap naik angkutan umum. Supaya lebih leluasa memperhatikan pemandangan.

Bus ini aslinya truk Mitsubishi Fuso. Bukan Suzuki Elf seperti yang biasa saya temui di Jawa Barat. Larinya kencang dan tangguh mendaki tanjakan.

Begitu bus melewati lereng-lereng gunung dengan “Letter U” berulang kali, saya mengucapkan rasa syukur karena tidak memaksakan diri gowes di etape ini. Melihat medannya yang sangat ekstrem, sudah pasti saya akan mendorong sepeda berkali-kali. Ujung-ujungnya saya akan mencari tumpangan.

Persis seperti kemarin antara Labuan Bajo ke Lembor, trek ke Ruteng ini didominasi hutan dan pegunungan. Pemandangannya sungguh keren. Sayang saya tidak tahu nama gunungnya. Jadi tidak bisa saya tuliskan disini.

Sekitar jam 10.30 saat tanjakannya sudah habis, saya minta diturunkan. Saya lanjut dengan mengayuh. Lumayan keringatan dan menjadi sensasi tersendiri buat saya. Sebab makin dekat ke kota Ruteng terasa suhu makin dingin.

Sekitar Dzuhur saya masuk kota Ruteng. Tujuan saya adalah Masjid Al Jihad, yang berada di dekat Kantor Bupati. Bersamaan dengan saya di masjid, ada mobil yang berhenti. Sepertinya mobil travel. Saat penumpangnya turun, saya melihat bapak-bapak Jamaah Tabligh lagi. Tapi rombongan yang ini tentu berbeda dengan yang di Lembor tadi.

Saya dorong sepeda keluar masjid mencari tempat makan. Sambil makan saya memeriksa situasi di sekitar saya. Dimana penginapan dan dimana laundry. Sayangnya saya tidak menemukan bengkel sepeda. Padahal saya sudah ingin menservis sepeda.

Karena hari masih sangat siang, saya bisa leluasa menelusuri kota Ruteng. Suasanya sangat adem. Di siang hari suhunya 23 derajat celcius. Tidak terlalu ramai juga tidak sepi.

Saya menemukan penginapan yang cocok, cocok di bujet maksudnya, di Jalan Yos Sudarso. Penginapan tua yang tidak ada plang namanya. Hanya masih ada jejak digitalnya di google maps.

Ruteng, 01 Juni 2025

Taufik Abriansyah