Day 37: Kami Gowes Menyusuri Sisi Sungai Batang Angkola

Santai626 Views

GITULAH.COM — PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 37

Kotanopan – Padang Sidempuan

Di Kotanopan kami menginap di Wisma milik Pemda Sumut. Wisma ini berdiri di atas gedung tua yang dibangun tahun 1932. Peninggalan zaman Belanda.

Suasananya sangat asri. Ongkos sewanya pun sangat terjangkau. Apalagi satu kamar bisa ditempati tiga orang. Jadi bisa patungan. Di wisma juga tersedia dapur lengkap dengan dispenser air panas. Untuk nyeduh kopi pagi ini saya tidak perlu repot men-setting kompor lipat.

Tadi malam saat sedang mencari-cari tempat menginap, seorang pria menyapa saya.
“Sepertinya dari jauh. Dari mana ini ?” tanyanya.
“Saya dari Bandung, bang. Dari Cimahi.”
” Hah, Cimahi ? Saya pernah di Cimahi. Di Gadobangkong,” sambungnya lagi.

Saya bisa langsung menebak pria ini pasti pejabat militer. Karena di Gadobangkong ada Pusdikter, Pusat Pendidikan Teritorial, tempat pendidikan bagi prajurit TNI sebelum memegang jabatan komandan kewilayahan.

Benar saja. Pria bertubuh tegap itu adalah Kapten Syaiful Abdi, Danramil Kotanopan. Meski berasal dari Sumatra Utara, Pak Syaiful punya kakek yang berasal dari Banten. Jadi bisalah berbahasa Sunda saeutik-saeutik.

“Kalau tidak keberatan, nginap saja di kantor Koramil,” Pak Syaiful menawarkan. Tawaran yang sangat simpatik ini terpaksa ditolak karena sudah terlanjur deal menginap di Wisma Pemda Sumut.

Pagi sebelum berangkat menuju Padang Sidempuan, kami sarapan dulu. Tidak jauh dari wisma ada pasar yang juga dipenuhi pedagang makanan untuk sarapan. Saya memilih sarapan di gerobak Bubur Bandung.

Pedagangnya berasal dari Cikijing, Majalengka. Sudah empat tahun hijrah ke Kotanopan karena memperistri orang sini. Dagangannya lumayan laris. Pembeli tak hanya orang Sunda yang tinggal di Kotanopan, tapi juga warga lokal. “Alhamdulillah, rezeki mah aya wae,” katanya.

Topik Lain :  Gagal ke Pulau Ende

Setelah menghabiskan satu mangkuk bubur, saya mulai bergerak. Kontur jalan mula-mula datar saja, tapi beberapa kilometer dari Kotanopan mulai bervariasi naik turun. Situasinya masih seperti kemarin. Di kiri kanan terlihat banyak rumah tua terbuat dari kayu. Rata-rata beratap seng. Dan memiliki antena parabola di halaman rumah.

Anak-anak yang berpapasan menyapa dengan panggilan, “Hai Mes”. Ada juga yang sudah lebih lengkap, “Hai Mister.” Bahkan ada yang lebih lengkap lagi, “How are you mister?”
Mungkin kami disangka bule. Atau cuma bule yang dianggap bisa touring dengan sepeda.

Baru di daerah Purba Baru saya mendapat sapaan yang agak berbeda. “Dari mana wak ?” Panggilan wak ini menunjukkan usia saya lebih tua dari umur orang tuanya.
“Dari Bandung,”
Bah.. jauh kaliii !”

Di Purba Baru ini, saya bertemu dengan bangunan rumah-rumah kecil yang biasa saya lihat di pesantren. Ternyata ini memang kobong, tempat tinggal santri. Di sini disebut pondok. Tiap pondok berisi antara tiga sampai lima santri.

Makin lama mengayun makin banyak pondok dan para santrinya. Akhirnya tampaklah bangunan pesantrennya. Rupanya ini Pesantren Musthafawiyah. Pesantren tertua (lebih dari satu abad) berdiri tahun 1912 di Sumatra Utara.

Saat melintas di depan gedung pesantren, ada ratusan (bahkan mungkin ribuan) anak yang sedang berjalan di pinggir jalan. Konon santrinya ada15 ribu, putra putri. Banyak banget. Beberapa di antaranya menyapa saya. Dan mengajak foto bareng. Mereka terkagum-kagum saat mengetahui saya gowes dari Bandung. “Jauh kali, wak,” kata mereka.

Setelah Purba Baru, masuk kota Panyabungan. Suasana terasa ramai. Kontras dengan suasana pedesaan tadi. Maklumlah ini ibu kota Kabupaten Mandailing Natal.

Saat berada di tengah kota Panyabungan ini saya terpisah dengan Pak Teguh dan Pak Muslir. Pasalnya, saya berhenti sebentar untuk jajan es cendol. Ternyata kedua rekan saya itu mampir ke toko sepeda untuk membetulkan sprocket (roda bergerigi yang berpasangan dengan rantai) sepeda Pak Teguh yang bermasalah. Saat di dalam toko, saya lewat.

Topik Lain :  Menparekraf: Investasi Hijau dan SDM Kunci Utama Pengembangan Pariwisata ke Depan

Kami saling tidak menyadari posisi masing-masing. Saya mengira Pak Teguh dan Pak Muslir ada di depan, sementara mereka mengira saya masih di belakang. Lebih dari 10 kilometer saya melaju sendirian keluar dari kota Panyabungan.

Yang menjadi perhatian saya, sejak masuk wilayah Provinsi Sumatra Utara ini banyak sekali usaha doorsmeer. Ini istilah yang cukup asing bagi orang yang tinggal di Pulau Jawa. Doorsmeer artinya tempat pencucian kendaraan. Pangumbahan, dalam istilah Sunda.

Selain mencuci mobil, doorsmeer juga tempat mencuci kereta. Eit jangan salah arti. Yang mereka maksud dengan kereta adalah sepeda motor.

Satu hal lagi yang juga menarik perhatian saya adalah pedagang kelilingnya. Mereka menggunakan gerobak seperti yang biasa digunakan tukang bangunan untuk mengangkut pasir.

Saat menunggu Pak Teguh dan Pak Muslir di warung yang berjualan mie, saya berkenalan dengan seorang pria yang lama tinggal di Jalan Budi, Cimahi. Namanya Rangkuti. Tapi fasih sekali berbahasa Sunda.

Di dekat tempat wisata Waterfalls, air terjun daerah Aek Sijorni, Pak Teguh dan Pak Muslir akhirnya berhasil menyusul saya. Kami gowes bareng bertiga lagi menyusuri sisi sungai Batang Angkola.

Menariknya di daerah ini banyak kios yang menjual golok. Ternyata di Desa Sipange sebanyak 75 persen masyarakatnya menggeluti usaha pandai besi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menjelang maghrib akhirnya kami masuk kota Padang Sidempuan. Sempat ngos-ngosan dulu karena ternyata banyak tanjakannya. Kota ini mengingatkan pada sahabat kental saya Hilman Tanuwijaya. Anak Talagasari, Kabupaten Karawang, ini pernah menjadi Kepala Cabang Bank Mandiri Padang Sidempuan. Di sini pula dia mendapatkan jodoh.

Hilman sangat mengapresiasi pencapaian saya gowes hingga Padang Sidempuan. “Selamat. Urang ngilu bangga euy,” katanya. Dikirimnya saya uang supaya lebih leluasa menikmati kuliner di perjalanan. Alhamdulillah.

Sabtu, 24 Agustus 2024

Taufik Abriansyah