GITULAH.COM – Pemerintah Cina, melalui Kementerian Sumber Daya Alam Cina, pekan ini menerbitkan peta baru edisi 2023. Peta ini mengklaim secara sepihak teritorial sejumlah negara di kawasan Asia dan Asia Tenggara.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengutarakan harapannya agar setiap pihak tidak berlebihan dalam menafsirkan peta itu. “Kami berharap pihak-pihak terkait dapat tetap objektif dan tenang, serta menahan diri dari menafsirkan masalah ini secara berlebihan,” kata Wang Wenbin dalam keterangan kepada media di Beijing, China pada Rabu lalu seperti dilansir Kantor Berita Antara.
Isi peta itu, disebut-sebut mengklaim wilayah di India, perairan Malaysia, hingga dekat Indonesia. Peta tersebut mencakup wilayah yang disengketakan dengan negara-negara tetangga termasuk klaim wilayah Arunachal Pradesh dan Aksai Chin di India, Taiwan, hingga Laut Cina Selatan. Peta terbaru Cina itu juga disebut mencakup bagian wilayah maritim zona eksklusif ekonomi (ZEE) Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia, dan Vietnam.
Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional, di wilayah perairan tersebut, negara mempunyai hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam hayati maupun nonhayati.
Rilis peta terbaru tersebut mendapat respons keras dari beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, dan India. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI buka suara mengenai peta baru Cina yang mengklaim beberapa wilayah negara lain sebagai bagian dari negaranya. Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi mengatakan bahwa posisi Indonesia saat ini bukan posisi baru dan posisinya selalu konsisten berpedoman pada hukum UNCLOS 1982.
“Posisi Indonesia ini bukan posisi yang baru, tetapi posisi yang selalu disampaikan secara konsisten, yaitu penarikan garis apapun, klaim apapun yang dilakukan harus sesuai UNCLOS 1982. Itu posisi Indonesia yang selalu konsisten disampaikan,” katanya di Komisi I DPR RI, pada Kamis (31/8), seperti dilansir dilansir laman bisnis.com.
Sementara, Malaysia juga menyampaikan protes. “Malaysia tak mengakui klaim China di Laut China Selatan, sebagaimana dituangkan dalam ‘Peta Standar China Edisi 2023’ yang mencakup area kelautan Malaysia,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Malaysia dilansir dari The Straits Times.
Menggambarkan masalah Laut China Selatan kompleks dan sensitif, Malaysia mengatakan perselisihan ini harus ditangani secara damai dan rasional melalui dialog, berdasarkan hukum internasional. Malaysia juga mengatakan mendukung pembuatan Kode Etik yang mencangkup sengketa maritim yang sedang dinegosiasikan oleh negara-negara Asia Tenggara.
Protes juga muncul dari India. Juru bicara Kementerian Luar Negeri India, Arindam Bagchi mengatakan sudah mengajukan protes keras melalui saluran diplomatik. Sumber ketegangan antara kedua negara tetangga ini adalah sengketa perbatasan sepanjang 3.440 km di sepanjang Himalaya yang tidak memiliki batas yang jelas. Kehadiran sungai, danau, dan hamparan salju membuat garis tersebut dapat berpindah di beberapa tempat.
UNCLOS atau United Nations Convention on the Law of the Sea tahun 1982 merupakan hukum laut internasional yang diterapkan oleh negara-negara di dunia. Ketetapan dalam UNCLOS menyatakan negara pesisir (yang memiliki pantai) menjalankan kedaulatan laut teritorialnya tidak boleh melebihi lebar 12 mil. Selain itu, negara yang memiliki perbatasan langsung dengan laut, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diakui hanya sejauh 200 mil.