Mampir Jembatan Legendaris Cirahong

Santai19 Views

GITULAH.COM — Day 3 [Tasikmalaya – Banjar 44 km]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com akan menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

Seperti kemarin, pagi ini kembali saya bangun kepagian. Kali ini dibangunkan alarm di hape yang saya setel di pukul 03.25.

Lima menit kemudian alarm hape berbunyi lagi. Setelan alarm ini untuk membangunkan saya sahur di setiap hari Senin dan Kamis. Alhamdulillah saya punya kebiasaan puasa Senin – Kamis. Tapi selama touring ini ya libur dululah. Bisa berabe kalau gowes jarak jauh dalam keadaan puasa.

Tidur tadi malam lumayan nyenyak. Saya ngobrol berbagi pengalaman dengan Kang Ade dan Om Alam (goweser Tasmania juga) sampai sekitar pukul 21.00. Saya sudah komitmen untuk tidak sampai larut supaya stamina dan kesehatan terjaga. Jarak yang hendak saya tuju masih sangat jauh.

Pagi ini Kang Ade menyuguhi saya sarapan dengan menu lengkap. Ada ayam goreng, ati ampela, tumis kentang, dan jengkol yang dimasak balado. Kami kembali terlibat dalam pembicaraan sambil menyantap hidangan.

Sekitar pukul 08.00 saya mulai bergerak meninggakan “Balong Kayun” tempat tinggal Kang Ade. Tidak lupa kami foto bareng dulu.

Dari daerah Panglayungan itu saya mengarahkan sepeda ke Alun-alun. Di situ ada Masjid Agung Tasikmalaya yang saya tandai sebagai titik start hari ini.

Di samping Alun-alun ada Lembaga Pemasyarakatan Tasikmalaya, mengingatkan saya pada saat masih di lapangan. Dulu saya pernah masuk ke LP ini untuk wawancara dengan aktivis Tasikmalaya yang menentang kebijakan pemerintah Orde Baru.

Sebelum start, saya lebih dulu memakai kaca mata hitam. Ini mengatasi masalah air mata yang mengucur seperti kemarin. Dengan kacamata sepeda, maka air mata yang keluar tidak sebanyak kemarin.

Masuk Jalan Sutisna Sanjaya saya tinggal lurus saja akan tiba di Banjar, kota yang menjadi tujuan saya hari ini. Jarak Tasikmalaya – Banjar sebenarnya pendek saja. Sekitar 40-an kilometer. Saya sengaja memilih rute pendek ini supaya bisa lebih nyantai, sekaligus menyesuaikan jarak etape berikutnya.

Di Jalan Sutisna Sanjaya ini saya melewati lokasi start Tour de Pangandaran (TdP) tahun 2018. Inilah rute panjang pertama yang saya ikuti. Jaraknya 106 kilometer. Start pagi hari finish di Pangandaran pas Maghrib.

Topik Lain :  Sambut Ramadan, Ita Purnamasari Rilis Single Religi Versi Baru dari Karya Klasik

Waktu itu saya baru main sepeda. Masih culun. Saya belum mengerti cara memindahkan gigi. Sepeda wimcycle yang saya miliki itu masih speed 7, alias masih standar. Alhamdulillah saya bisa mengikuti even itu dengan lancar.

Di Jalan Sutisna Sanjaya ini juga ada toko sepeda Rodalink. Toko yang punya jaringan nasional ini punya komunitas bikepacker, di mana saya juga jadi anggotanya. Saya mampir sebentar dan bertemu Om Fadil, salah satu mekanik Rodalink.

Yang menarik perhatian saya di jalanan Tasikmalaya ini adalah banyak sekali pedagang bubur ayam. Dalam jarak beberapa puluh meter saja ada pedagang bubur ayam. Pabalatak.

Di ujung jalan Sutisna Sanjaya ini kita bertemu Lapangan Udara Wiriadinata. Semula hanya untuk kepentingan militer, namun dalam perkembangannya bandara ini kemudian menjadi bandara komersial.

Masuk daerah Manonjaya, saya berhenti sebentar di Masjid Agung. Masjid ini adalah salah satu basis penting dalam perjuangan ulama dulu. Masjid ini menjadi saksi sejarah masuk dan perkembangan agama Islam di Priangan Timur.

Beberapa kilo dari masjid ada pertigaan akses jalan menuju Jembatan Cirahong. Jembatan ini penghubung perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis di atas Sungai Citanduy. Panjangnya 202 meter. Saya tak melewatkan kesempatan untuk merasakan keseruan bersepeda di Jembatan Cirahong. Dulu saya pernah ke sini, tapi naik mobil. Jadi hanya bisa sampai area parkir saja.

Dari jalan raya Tasik-Banjar jaraknya sekitar 2 kilometer. Dan cenderung turunan. Tiba di jembatan saya ikut antrean motor yang hendak nyeberang. Ada Pak Ogah yang mengatur arus lalu lintas bergantian dari arah seberang.

Tiba giliran saya masuk dan berkendara di dalam jembatan perasaan saya dag dig dug juga. Berkali-kali saya disalip motor yang menganggap saya lambat sekali. Suara ban motor melindas papan jembatan yang sebagian tidak terpaku dengan baik menimbulkan efek seram juga. Ngeri-ngeri sedap untuk saya yang tidak biasa.

Lepas dari jembatan saya melipir ke warung yang ada di pinggir jalan. Ngopi dulu. Plus bala-bala dua. Bari menyaksikan kesibukan orang yang mau nyeberang.

Jembatan ikonik di Ciamis ini memang unik. Inilah satu-satunya jembatan susun kereta api dengan kendaraan lain di bawahnya. Untuk keselamatan, mobil dilarang lewat sini. Bila pas ada kereta lewat saat kita berkendara, pasti menberi sensasi tersendiri. Sensasi ngeri.

Topik Lain :  Di Tanjungpura Bekasi Nyaris Alami Insiden yang Bisa Buat Celaka

Karena keindahan bentuknya itu tidak heran kalau banyak yang main ke sini. Semacam wisata sederhana.

Puas menikmati Cirahong, saya ambil sepeda. Kembali ke arah Jalan Raya Manonjaya. Tidak jauh dari pertigaan, saya masuk kawasan Sentra Pandey Besi Galonggong. Kualitas golok Galonggong sudah teruji dan terbukti tidak hanya di Tasikmalaya saja, tetapi sudah ke luar daerah. Di kiri kanan jalan banyak kios yang menjual kerajinan dari besi.

Kontur jalan memang cenderung turun. Namun cuaca panasnya sangat nendang. Setelah Kecamatan Cineam di Kabupaten Tasikmalaya, saya masuk Kecamatan Cimaragas di wilayah Kabupaten Ciamis.

Melewati Bendungan Leuwikeris yang dibangun di perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis, membendung Sungai Citanduy. Bendungan ini terutama dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian. Lalu saya merapat ke Masjd Jami Al Hidayah. Saya periksa suhu ada di 31 derajat. Lebih baik neduh dulu, plus ngagoler.

Di samping masjid ada warung kecil. Saya pesan Nutrisari untuk menghalau haus. Si ibu pemilik warung terkaget-kaget mendengar saya bersepeda dari Cimahi. “Nanaonan atuh pak,” teriaknya. Saya cuma bisa terseyum mendengar komentarnya.

Selonjoran di masjid sambil melihat-lihat sepeda ada perasaan senang di hati saya. Bendera merah putih yang berkibar-kibar ditiup angin itu rasanya keren. Sayang bendera itu sudah belel. Di masjid ini saya sempat tertidur. Setelah itu saya kembali melanjutkan perjalanan.

Di daerah Cipariuk, saya disalip dua bocah yang sedang bersepeda. Saya hentikan mereka dan ajak ngobrol. Namanya Sendi dan Reyhan, umur 8 dan 9 tahun. Sebagaimana bocah, sepedanya tanpa rem.
“Om dari mana,” tanya Reyhan.
“Bandung,”
“Piraku!,” katanya kaget.

Saat berpisah mereka saya bagi kue wafer yang saya bekel. Masing-masing juga dapat satu gantungan kunci. Giranglah mereka.

Menjelang Asar, saya masuk plang bertulisan “Selamat Datang di Kota Banjar”. Di sini dulu saya bersama teman-teman KSeXX sempat ambil foto.

Dari tempat ini ke pusat kota Banjar masih sekitar 10 kilometer lagi. Saya mengayuh pelan saja karena waktu masih banyak.

Di Banjar saya merapat ke rumah Pak Haji Ujen. Beliau juga federalist yang tergabung dalam chapter Banjar: Fedstar (Federalist Sekitar Banjar).

Pak Haji Ujen sudah dikenal di kalangan peturing bersepeda karena rumahnya dijadikan tempat rest alias menginap gratis.

Banjar, 28 April 2025

Taufik Abriansyah