Merauke, I am Coming!

Santai175 Views

GITULAH.COMDay 54 [Ambon – Merauke]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

FINALLY, perjalanan lima hari di atas kapal berakhir juga. Tepat jam 21.20 WIT tadi KM Tatamailau yang membawa saya dari Ambon masuk ke Pelabuhan Merauke.

Alhamdulillah perjalanan panjang Gowes Cipageran (Kabupaten Bandung Barat) ke Merauke (Papua Selatan) telah menyelesaikan babak final. Tinggal satu etape lagi, yaitu gowes dari kota Merauke ke Titik Nol Kilometer Indonesia di Desa Sota, perbatasan dengan Papua New Guinea, maka saya akan menyelesaikan touring ini. Saya anggap etape terakhir sejauh 65 kilometer ini sebagai babak grand final.

Bangun pagi ini, perasaan saya cukup bersemangat. Kebayang hari ini saya akan kembali ke daratan. Kebayang akan potong rambut. Kebayang pula wajah anak bungsu saya Boy. Hari ini dia ulang tahun. Boy punya nama lengkap yang bagus: Naratama Perizki Abriansyah.

Mengingat kelahiran Boy sekaligus juga mengingatkan saya pada almarhumah ibu mertua saya: Yeti Siswanti. Saat Boy lahir, beliau dirawat di Rumah Sakit. Kena stroke. Saya dan istri berencana melaksanakan aqiqah menunggu Mamah Yeti keluar dari Rumah Sakit.

Kepada setiap orang yang bertanya nama sang bayi, saya menjawab ; “Karena ini anak laki, sementara panggil dia Boy. Nanti nama aslinya diberitahukan saat aqiqah”. Dari nama panggilan akhirnya terus melekat hingga kini.

Aqiqah Boy baru kami laksanakan sekitar dua bulan dari kelahirannya. Sebab kami sedang berduka. Ibu mertua saya akhirnya menemui Allah di Rumah Sakit. Allohumagfirlaha warhamha wa’afini wafu’anha, Al Fatihah untuk beliau.

Saat shalat Subuh, saya baru menyadari setiap shalat ternyata arah kiblat selalu berbeda-beda. Arah kiblat dilihat dengan kompas disesuaikan posisi kapal. Selama beberapa hari ini, hampir semua arah di mushala pernah jadi arah kiblat.

Topik Lain :  Minuman Ringan Setiap Hari Dikaitkan dengan Peningkatan Risiko Penyakit Hati

Kembali ke tempat tidur, saya sempatkan periksa sepeda yang diparkir di lambung Dek 5. Sepertinya sepeda aman-aman saja. Hanya ban belakang kempes.

Selepas Subuh ini, perut saya kembali mual. Sesuai banyak info yang saya terima, arus air di sini sangat kencang. Kapal terus bergoyang. Sangat tidak kondusif buat saya yang jarang-jarang naik kapal.

Maka seperti kemarin, hari ini saya isi dengan ngagoler saja. Menulis dan mengaji Qur’an. Sesekali tertidur.

Selain mendapat pengalaman baru berlayar dengan gelombang yang lebih keras, dua hari terakhir ini juga diwarnai banyaknya penumpang warga asli. Mereka naik dari Timika dan Agats. Orang asli Papua mudah sekali dikenali. Hitam kulit, keriting rambut.

Beberapa anak duduk di deretan matras saya, karena kebetulan ada terpasang televisi. Satu sisi saya senang karena jatah makan yang tidak saya konsumsi bisa saya berikan ke mereka. Tidak mubazir. Namun, di sisi lain timbul perasaan haru di sanubari saya.

Saya merasa terharu karena menyadari dalam banyak hal Papua masih tertinggal dari kita yang tinggal di Indonesia bagian barat.

Sampai siang ternyata rasa mual perut saya belum sepenuhnya hilang. Kapal masih bergoyang mengikuti alun gelombang.

Untuk amannya saya memilih shalat di tempat tidur saja. Sembari duduk. Kiblatnya entah tepat entah tidak. Saya tidak khawatir, kalaupun arah kiblat tidak tepat. Karena saya pernah dapat pengajian, dalam situasi begini kita boleh shalat menghadap ke mana saja.

Analoginya adalah seorang astronot Muslim yang sedang berada di luar angkasa. Ketika waktunya shalat, dia shalat saja di kursinya. Entah kiblatnya menghadap Masjidil Haram atau menghadap Stadion Manchester United.

Sekitar jam 16.30, suasana dek mendadak riuh karena ada yang memberi info sudah ada sinyal. Namun untuk mendapat sinyal yang lebih kuat, harus naik ke Dek 5 atau Dek 6.

Topik Lain :  Day 29: Kesempatan Bersilaturahmi dengan Goweser dan Handai Taulan

Saya segera ikutan naik ke anjungan. Ombak sudah tidak terlalu bergelombang, tapi angin masih kencang. Di anjungan, hape saya kembali mendapat sinyal. Dan saya kembali bisa berkomunkasi dengan dunia luar.

Setelah puas memperhatikan pesan-pesan yang masuk, saya memperhatikan situasi di sekitar kapal. Di sebelah kanan adalah lautan lepas, dan terlihat ada satu kapal yang sedang labuh jangkar. Di sebelah kiri di kejauhan terlihat daratan. Sudah dekat. Tapi kapal makin melambat dan akhirnya diam di tempat.

Penumpang lain memberi tahu kemungkinan air belum cukup besar sehingga kapal belum bisa berlabuh. Menunggu tinggi air pasang dulu. Rupanya Pelabuhan Merauke berada di dalam, harus masuk semacam sungai dulu. Beberapa ratus meter dari garis pantai.

Di anjungan banyak orang yang nongkrong. Kebanyakan anak-anak muda yang berburu sinyal. Di satu meja ada sekelompok yang gitaran. Dari raut mukanya, kayaknya mereka dari Ambon. Menjadi hiburan tersendiri karena nyanyinya enak. Mulai dari lagu anak-anak sampai lagu gereja.

Azan Maghrib berkumandang, posisi kapal masih diam. Maghriban berjamaah jadi bisa lebih tenang. Tak khawatir terjengkang. Lepas Maghrib saya kembali ke anjungan. Tapi kali ini sinyal hilang lagi.

Jam 19.45 stom (klakson kapal) berbunyi keras sekali. Disambut riuh oleh penumpang. Kapal bergerak lagi. Tanda-tanda akan segera sandar semakin dekat.

Jam 20.00 ada pengumuman di speaker bahwa kapal akan sandar satu jam lagi. Semua makin sibuk mempersiapkan diri. Yang wanita mulai dandan, yang pria mempersiapkan cara membawa barang bawaannya.

Jam 20.30 saya naik ke Dek 5. Memasang pannier di tempatnya. Ban belakang makin kempes. Alamat bakal ngedorong malam ini, kalau tidak ada tempat pompa ban.

Jam 21.20 kapal mulai sandar. Tapi karena panjangnya antrean baru sekitar jam 22.15 saya bisa turun dan menginjakkan ban sepeda di tanah Papua. Alhamdulillah. Merauke, aku datang.

Merauke, 22 Juni 2025

Taufik Abriansyah