Transit di Kota Manise

Santai173 Views

GITULAH.COMDay 49 [Ambon]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

TIDUR di dek kapal dengan suara air laut di telinga menjadi pengalaman baru. Beberapa kali saya naik kapal sebelumnya, saya selalu mendapat tempat tidur. Nyaman di dalam palka.

Mungkin karena sudah siap mental, tadi malam saya bisa tidur lumayan nyenyak. Beberapa kali terbangun memang, tapi bisa segera tidur lagi. Suara ombak persis di sebelah, saya nikmati saja sebagai sensasi tersendiri. Ombak ini mungkin lebih tepat disebut sebagai suara gelombang karena arusnya lumayan tinggi.

Yang agak saya khawatirkan adalah kesehatan saya. Pagi ini hidung saya keluar ingus, seperti tanda mau pilek. Mudah-mudahan nanti siangan sudah normal lagi. Tadi malam buff yang saya kenakan sudah termasuk menutup hidung, supaya saya tidak langsung menghirup angin laut. Tapi anginnya kencang, pasti tembus juga.

Saat suara azan Subuh terdengar, saya bergeser ke Dek 7. Melewati banyak orang yang juga menggelar karpet di selasar. KM Ciremai yang saya tumpangi ini termasuk salah satu kapal favorit penumpang.

Meski umurnya sudah terbilang tua, kapal ini berukuran lebih besar dibanding kapal PELNI lainnya, sehingga bisa memuat lebih banyak penumpang, dan bisa melewati ombak besar juga dengan lebih tenang.

Pagi ini saya tak nyeduh kopi. Rencananya saya akan jajan saja di kantin. Sambil sarapan, karena jatah makan pagi saya tak bisa diambil lantaran tiket saya hilang.

Sekitar jam 06.00 dari speaker diperdengarkan lagu Mars PELNI. Lalu seluruh karyawan diingatkan untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak. Jargon semua perusahaan BUMN. “Pelni Juara,” tutup suara di speaker itu.

Dari Baubau menuju Ambon berarti juga memasuki zona waktu yang berbeda. Dari Waktu Indonesia Tengah ke Indonesia Timur. Dalam perjalanan ini, penyesuain waktu tak dilakukan secara otomatis mengubah jarum jam satu jam lebih cepat. Melainkan secara bertahap.

Di kapal ini pergeseran waktu dilaksanakan dalam 3 tahap. Setiap tahap dilakukan penambahan waktu 20 menit. Urutannya sebagai berikut : jam 22.00 WITA menjadi 22.20 WIT, jam 02.00 WITA menjadi 02.40 WIT, dan jam 06.00 WITA menjadi jam 07.00 WIT.

Saat hari makin terang makin jelaslah posisi kapal ini di tengah lautan. Saya kembali mengalami situasi di mana mata memandang yang terlihat hanya laut. Tidak ada kelihatan daratan. Kalau sudah begini, saya merasa kecil sekali di alam semesta. Dan membuat saya makin mengagumi Yang Maha Pencipta.

Yang mengesankan saya, di KM Ciremai ini pada pukul 08.00 diperdengarkan lagu “Indonesia Raya”. Tidak ada penumpang yang berdiri sigap memberi hormat. Tapi paling tidak suasana sejenak menjadi lebih hening.

Topik Lain :  Inilah 6 Minuman Terbaik Saat Anda Butuh Peningkatan Energi

Sekitar jam 09.00-an saya menuju kantin. Sebelum kepala makin pening, saya harus ngopi. Saya pesan kopi sachet Kapal Api dan Indomie.

Dan harganya lumayan tarik. Yaitu Rp 40 ribu. Dengan rincian Rp 15 ribu untuk kopi, dan Rp 25 ribu untuk mie. Mahal banget dibanding warung saya. Kebetulan di Bandung saya ada warung, jadi saya sedikit mengerti harga-harga.

Kembali ke lapak saya di pinggiran Dek 5, saya melihat papan peringatan yang cukup ganjil. Tulisannya: “Dilarang Melompat ke Laut”. Menurut saya ganjil karena masak iya ada yang mau melompat, sehingga harus dipasang papan pengumuman seperti itu.

Sekitar jam 15.30 kapal mulai masuk pelabuhan Ambon. Saya turun ke dek 3 tempat sepeda saya disimpan. Kali ini si ibu yang memasang muka masam telah melipat tilamnya. Mungkin dia tahu saya akan mengangkat sepeda melewatinya.

Saat ngantre hendak keluar kapal, saya menyaksikan keriuhan puluhan buruh angkut yang menyerbu masuk kapal. Tidak jarang mereka bertabrakan dengan penumpang yang mau keluar. Tergambar jelas kerasnya perjuangan menjemput rezeki.

Karena membawa sepeda, saya memilih turun saat situasinya sudah reda. Perlahan saya dorong melewati tangga, hingga akhirnya Si Lady (sepeda federal milik saya) menginjakkan bannya di Ambon Manise.

Sebelum keluar area pelabuhan, saya menuju area pemberangkatan terlebih dahulu. Untuk ngeprint tiket KM Tatamailau Ambon – Merauke yang berangkat nanti malam.

Suasana pelabuhan penuh sesak. Karena selain KM Ciremai yang sandar, ada juga KM Nggapulu yang akan berangkat.

Kota Ambon tak terlalu asing buat saya. Sekitar tahun 2008, saat masih bergabung di “Perguruan 165” saya pernah ke sini. Saya masih ingat, tidak jauh dari pelabuhan ada Masjid Raya Al Fatah.
Sudah jadi kebiasaan, untuk menandai arah sebuah kota, saya berpatokan pada masjid terbesarnya. Di halaman masjid, saya minta tolong anak sekolah yang sedang bermain untuk ngambil foto saya. Seperti di tempat lain, mereka keheranan melihat tampilan sepeda saya.

Dari Masjid Al Fatah saya ke Lapangan Merdeka. Tidak jauh dari tempat ini, dulu saya pernah menginap. Suasana lapangan ternyata penuh oleh orang-orang yang sedang berolah raga. Bermain bola, senam, dan jogging. Saya kesulitan menaikkan sepeda untuk berfoto di lapangan yang ada tulisan “Ambon Manise”.

Setelah sejenak berpikir ke mana lagi saya bisa pergi untuk menandai saya berada di Ambon, saya teringat Jembatan Merah Putih yang diresmikan Presiden Jokowi beberapa tahun lalu. Jembatan ini sekarang menjadi ikon Kota Ambon.

Saya arahkan sepeda ke sana. Bermacet-macet bersama kendaraan lain. Rupanya jalan menuju jembatan ini termasuk kawasan macet di Ambon.

Jembatan Merah Putih tergolong jembatan terpanjang di Indonesia. Panjangnya 1,140 kilometer dengan lebar 22,5 meter, menghubungkan Desa Galala dan Desa Poka.

Salah satu manfaat jembatan ini adalah mempercepat waktu tempuh dari Bandara Pattimura menuju pusat Kota Ambon. Awalnya 60 menit sekarang menjadi 20 menit saja.

Saya memilih untuk mengambil rute jalan di bawah supaya bisa mengambil foto berlatar belakang jembatan. Kembali saya minta tolong anak-anak yang sedang melintas. Kali ini dua anak yang sedang bermain sepeda. Setelahnya saya kasih stiker dan suruh tempel di sepedanya.

Topik Lain :  Melihat Kambing Jadi Penumpang Bus

Puas dari jembatan, kembali saya mengayuh sepeda mengarah ke kota. Hari sudah mau Maghrib. Selain itu saya juga tidak mau kemalaman di jalanan.

Kembali ke Masjid Al Fatah, shalat Maghrib dan Isya. Setelah itu saya ke Indomaret yang ada di sebelah kiri masjid dari arah Jalan AM Sangaji. Belanja buat bekal nanti selama di kapal.

Untuk makan malam, saya beli nasi kuning. Lauknya dengan paru. Harganya Rp 28 ribu. Potongan parunya lumayan banyak.

Satu keunikan di Indonesia Timur adalah nasi kuning di jual pada malam hari. Pilihan lauknya lumayan beragam. Dengan ikan, telur, daging, ayam, paru, dan hati sapi.

Setelah itu saya kembali ke gerbang Masjid Al Fatah. Saya ada janjian dengan Pak Ikhwan Wahyudi, Kepala Biro Ambon LKBN Antara. Adalah kawan seperjuangan saya, Sapto HP, yang menghubungkannya.

Pak Ikhwan berasal dari Padang Sumatra Barat. Baru sekitar dua tahun ini bertugas di Ambon. “Namanya bekerja, kita harus siap ditempatkan di mana saja,” katanya.

Kami lalu berbagi cerita. Dia banyak bertanya tentang touring saya. Sebaliknya saya bertanya pengalaman dia liputan di Maluku. Karena berprofesi sama, kami cepat menjadi akrab.

Sekitar jam 21.00 kami berpisah. Pak Ikhwan kembali ke rumahnya, saya menuju pelabuhan. Suasananya sudah sangat ramai. Saya senderkan sepeda di pagar yang memisahkan area penumpang dengan area peti kemas. Dengan cepat sepeda saya menarik perhatian.

Sekitar pukul 22.30 pintu keberangkatan penumpang dibuka. Beberapa orang sudah mulai masuk. Tapi entah mengapa lebih banyak yang memilih nyantai nunggu di luar.

Saya dorong sepeda. Petugas dengan ramah menyilakan. Lalu pergelangan tangan saya dicap sebagai tanda boarding. “Wah kayak masuk Dunia Fantasi,” komentar saya, disambut tawa petugas.

Masuk ke ruang tunggu ternyata ada konter kelebihan bagasi lagi. Seperti tadi di pelabuhan Baubau. Dan sepeda saya harus menggunakan barcode yang dikenakan tarif.

Tapi petugas yang ini lebih bersahabat. “Om saya hitung kelebihan bagasinya 10 kilo, bayarnya Rp 80 ribu,” katanya.
“Om minta maaf. Saya bayar Rp 50 ribu ya. Saya punya uang sudah menipis, euy,” kata saya. Bahasa Indonesia dialek Timur plus Sunda.

Petugas PELNI itu tersenyum. Tanpa banyak omong, dia ngeprint barcode untuk sepeda. Alhamdulillah urusan sepeda sudah aman. Tinggal ngangkutnya naik ke kapal.

Dalam hati saya bersyukur, meski perjalanan naik kapal dari Ambon ke Merauke ini makan waktu lebih dari enam hari, titik finish touring ini sudah semakin dekat.

Bersepedanya mungkin tinggal sekitar 70 kilometer lagi. Tapi enam hari di kapal pasti akan memberi pengalaman baru. Dan seru.

Ambon, 17 Juni 2025

Taufik Abriansyah