GITULAH.COM — Day 47 [Baubau]
Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.
MESKI penginapan murah, tempat menginap saya di Baubau ini cukup menyenangkan saya.
Di resepsionisnya ada tersedia air panas yang cukup membantu saya untuk menyeduh kopi. Tidak perlu menyalakan kompor. Ditambah lagi di bagian belakangnya ada tempat jemuran pakaian.
Sepertinya penginapan dengan 16 kamar ini tamu-tamunya adalah penumpang kapal yang sedang transit. Jadi, penginapan ini tidak menyediakan tempat parkir.
Namun begitu, sepeda saya aman terlindungi di teras yang memiliki atap. Saat malam, sepeda saya malah dimasukkan ke dalam. “Baru kali ini ada tamu membawa sepeda,” kata Pak Ikbal, penjaga penginapan bernama “Penginapan Sahabat” tersebut.
Cocok dengan namanya, harga sewanya pun bersahabat. Rp 60 ribu per malam. Pakai kipas angin, tapi kamar mandinya di luar.
Pagi ini saya bisa nyuci dulu beberapa helai daleman yang kemarin saya pakai. Sementara kemeja yang saya pakai tidak saya cuci. Sudah saya niatkan untuk nanti ditinggalkan saja. Siapa tahu bisa dipakai oleh Pak Ikbal.
Sekitar jam 10.00 saya mulai bersepeda. Mula-mula saya ke Pelabuhan Murhum, bermaksud mencetak tiket kapal Baubau -Ambon yang versi digitalnya sudah dikirim via email. Tapi pelabuhan sepi-sepi saja. Mungkin karena tidak ada kapal yang sandar.
Lalu saya bergeser ke kantor PELNI, yang lokasinya sekitar 1,5 kilometer dari pelabuhan. Hasilnya sama saja. Ini hari Minggu. Kantor PELNI tutup.
Dari sini, sesuai rencana saya kemarin, saya menuju Benteng Keraton Buton. Dan seperti yang saya prediksi, jalur jalan ke benteng ini berupa tanjakan lumayan tajam. Membuat saya ngos-ngosan.
Sekitar Dzuhur saya tiba di gerbang keraton. Di situ ada warung berjualan es campur dan mi ayam. Saya pesan es campur. Dan bersamaan dengan itu turun gerimis. Tidak terlalu deras, tapi bikin basah. Untungnya saya sudah neduh di warung.
Tapi, syukurlah hujannya tidak lama. Saya lalu bergeser ke Masjid Agung Keraton Buton. Warga setempat menyebutnya dengan Masigi Ogena Wolio. Nama asli masjid ini adalah Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu’min.
Dari lokasi masjid ini saya dapat memperhatikan sebagian dari benteng yang mendapat rekor MURI sebagai benteng terpanjang ini. Benteng yang berada di atas Bukit Wolio ini memiliki luas 23.375 hektare, berada di ketinggian 100 meter di atas permukaan laut.
Puas melihat-lihat benteng, saya kembali ke pusat kota. Kali ini bisa melaju cepat. Karena jalannya berupa turunan. Saya ke pinggir pantai tempat Patung Pahlawan Nasional Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi berada.
Patung setinggi 22 meter itu menjadi ikon Kota Baubau. Sosok Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi menghadap sambil menunjuk matahari terbenam. Gagah pisan.
Di dekat patung ini ada semacam Alun-alun tempat warga lokal nyantai. Banyak pedagang cemilan di sana. Salah satunya Mang Ujang, asal Padalarang, yang berjualan batagor. “Meni jauh, kang,” ledek saya.
“Muhun rezekina aya di dieu,” sambut Mang Ujang sambil tertawa.
Kami lalu berbincang-bincang dalam bahasa Sunda. Orang-orang yang berada di sekitar jadi memperhatikan kami. Di gerobaknya, Mang Ujang menulis batagor Bandung. Bukan batagor Padalarang.
Mengayuh di jalanan kota Baubau ada satu rambu lalu lintas yang membuat saya bertanya-tanya. Ada rambu tanda verboden (dilarang masuk) dengan tulisan di bawahnya: Khusus Angkutan Luar Kota.
Sejurus saya mengartikannya kendaraan yang berasal dari luar kota Baubau dilarang masuk. Tapi kemungkinan besar maksudnya angkutan umum.
Baubau, 15 Juni 2025
Taufik Abriansyah