Masuk Babak Naik Kapal

Santai154 Views

GITULAH.COM Day 45 [Maumere – Baubau]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

TOURING saya kali ini diwarnai banyaknya penyeberangan antarpulau yang harus saya lalui. Untuk sampai ke Maumere yang berada di Flores saya nyeberang pulau naik ferry empat kali. Sementara dari Maumere ke Merauke yang ada di Pulau Papua saya harus naik kapal tiga kali. Hari ini perjalanan naik kapal itu akan dimulai.

Saat shalat Subuh berjamaah pagi ini, alhamdulillah saya kembali mendapat pengalaman imam membacakan Surah As Sajdah. Dalam surat ini ada bagian dengan gerakan langsung sujud. Tidak ruku dulu. Bagian ini sering membuat makmum kecele.

Untungnya kemarin saya sempat berbincang dengan seorang makmum yang menginfokan hal ini. “Jangan kaget besok Jumat waktu Subuh imamnya membaca Surah As Sajdah. Sudah jadi kebiasaan di sini,” katanya.

Seperti kemarin, pagi ini saya menikmati kopi sambil menyaksikan puluhan burung pipit bermain di dalam masjid. Suara kicauannya nembuat suasana hati saya jadi enak. Semangat saya makin tinggi untuk pengalaman seru hari ini: naik kapal!

Meski bukan pertama kali naik kapal, saya anggap hari ini akan menjadi seru karena inilah kali pertama perjalanan saya sendirian dengan membawa sepeda.

Tahun lalu saya pernah naik kapal PELNI rute Jakarta – Batam. Namun, itu dalam rombongan. Saya masih ingat, kami tertahan cukup lama di pintu masuk sebelum diloloskan naik kapal. Itu berkat dibantu teman-teman federalist lain yang punya akses di pelabuhan Tanjung Priok.

Maka hari ini akan saya isi dengan lebih dulu ke kantor PELNI, sebelum nanti sore naik kapal. Saya juga berencana akan bersilaturahmi ke rumah keluarga Om Nova, kenalan saya di Cimahi yang berasal dari Maumere.

Karena ini hari Jumat, beberapa pegawai masjid sudah tampak membersihkan masjid. Persiapan menyambut shalat Jumat. Menariknya, salah seorang petugas yang membersihkan masjid ini beragama Katholik. Ini saya ketahui saat berbincang-bincang dengan beliau kemarin.

Sekitar jam 08.00 saya keluarkan sepeda. Anak-anak sekolah yang belum masuk kelas sontak mengerubuti saya. Di komplek Masjid Al Muhajirin ini ada madrasah. Setingkat anak TK dan anak SD.

Seperti di tempat lain, di sini saya juga mendapat satu pertanyaan yang sering diajukan anak-anak: Om akun Tiktoknya apa? Syukurlah sekarang saya bisa menjawabnya.

Yang mengejutkan saya, ada satu anak yang ternyata pernah menonton video saya. “Om yang bagi-bagi sticker itu ya. Bagi Om,” katanya.

Mereka kegirangan waktu saya bagikan sticker. Untung saya membuatnya lumayan banyak. Semua kebagian. Satu ewang.

Dari Masjid saya menuju persimpangan Jalan Eltari yang ada tugu dengan tulisan MOF. Ke tempat laundry yang kemarin saya titipkan pakaian kotor saya untuk dicuci. Tarifnya murah saja, Rp 6 ribu perkilo. Pakaian jadi bersih, kering, dan wangi.

Di tugu itu saya baru menyadari tulisan MOF yang sering disematkan sebagai kota Maumere adalah singkatan. Maumere Of Flores. Tadinya saya mengira MOF ini sebagai call sign Bandara Maumere.

Dari tempat laundry saya lanjut ke Kantor PELNI yang berada tidak jauh dari pelabuhan. Saya print boarding pass untuk pemberangkatan nanti sore. Sementara untuk sepeda, masih harus diurus di pelabuhan.

Beres dari situ saya menuju rumah Om Nova yang lokasinya dia berikan dengan sharelok. Di daerah jalan lingkar. Dengan cepat saya menemukan rumahnya. Mula-mula saya diterima adiknya. Dia keheranan Nova yang berumur sekitar 35 tahun mempunyai teman seumur saya. Tapi waktu ibunya muncul, dia langsung mengenali saya. Nova dan ayahnya segera dipanggil untuk bertemu dengan saya.

Topik Lain :  Inilah 6 Minuman Terbaik Saat Anda Butuh Peningkatan Energi

Saya berkenalan dengan keluarga Om Nova ini sekitar setahun lalu di Stasiun Cimahi. Waktu itu kami sama-sama hendak naik kereta Cikuray. Saya mengajak mereka berkenalan karena saya punya feeling mereka berasal dari NTT. Semula saya kira mereka berasal dari Timor. Tapi ternyata dari Maumere. “Nanti kapan-kapan kalau saya sepedahan saya mampir,” kata saya waktu itu.

“Kami tunggu,” jawab Pak Kanis, ayahanda Nova.

Ajaibnya hari ini benar-benar kejadian saya bersepeda sampai Maumere.

Om Nova tinggal di Jalan Pesantren Cimahi, bersama anak dan istrinya yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta di Jalan Gatot Subroto, Cimahi. Kebetulan saat ini sedang mudik untuk menghadiri pernikahan adiknya.

Pak dan Bu Kanisius Heronimus menyambut saya dengan hangat. Bersama Nova kami terlibat dalam percakapan akrab di ruang tamu rumahnya yang asri. Saya punya tempat untuk bertanya hal-hal yang menurut saya agak ganjil, langsung kepada warga lokal penganut Katholik.

Salah satunya soal kepenasaran saya saat di perjalanan menuju Maumere sering melihat ada makam di halaman rumah. Rupanya ada tradisi setempat, pemilik rumah dimakamkan di rumahnya sendiri.

Lama juga kami berbincang-bincang. Sampai menjelang jam 11.00 saya berpamitan. Karena harus bersiap untuk Jumatan.

Sebelum sampai masjid, saya mampir warung nasi padang beli nasi untuk makan siang saya nanti. Harga di Maumere sudah lebih murah ketimbang di Ende. Tapi, tetap lebih mahal dibanding di Bandung.

Sebagai contoh, sebungkus nasi ayam. Di Ende harganya Rp 30 ribu, di Maumere Rp 25 ribu, di Kiambang Komplek Cipageran rumah saya Rp 16 ribu. Dengan porsi dan besar ayam yang sama.

Masjid penuh oleh jamaah saat Jumatan. Sebagian lantai dua juga terisi. Ini adalah shalat Jumat ke tujuh yang saya laksanakan dalam perjalanan touring ini. Mungkin masih satu atau dua kali Jumat lagi sebelum kembali ke rumah.

Selepas Jumatan saya kembali memeriksa barang bawaan. Rencana untuk berangkat ke pelabuhan saat ini juga, saya undur hingga selesai Asar saja. Karena dari masjid ke pelabuhan bisa ditempuh dalam sepuluh menit saja.

Dan ternyata ada hikmahnya. Saya kembali dipertemukan dengan orang baik yang membantu kelancaran perjalanan saya hari ini.

Saat shalat Asar, ternyata saya duduk persis bersebelahan dengan Kepala Takmir Masjid Al Muhajirin Pak Supardi Wahab. Saya langsung berpamitan dan menyampaikan terima kasih atas pelayanannya. Sebaliknya, Pak Supardi mohon maaf atas kekurangan yang diberikan pihak masjid. “Semoga selalu dalam lindungan Allah, dan hajatnya terkabul,” katanya.

Doa Pak Takmir ini mengingatkan saya pada mamang saya yang tinggal di Kota Metro, Lampung. Beliau kerap memberi pesan kepada saya dengan nuansa yang sama. “Opek mamang doakan dilindungi Allah dan hajatnya terkabul,” kata Mang Syukri Jalili.

Saat hendak mengeluarkan sepeda dari parkiran, saya berpapasan dengan seorang pria yang dengan lantang menyapa saya. “Akang anu mawa sapeda ti Bandung tea nya,”

“Muhun kang,”

“Bade kamana ayeuna,” melihat saya sudah mau mengeluarkan sepeda.

“Bade ka pelabuhan. Pamit kang. Saya bade lanjut ka Baubau,” jawab saya.

“Atuh acan mampir ka angkringan abdi,” katanya.

Beliau bernama Kang Deni, pemilik angkringan “Lestari” di jalan Yos Sudarso, asal Bandung. Saya sudah mendapat info tentang beliau dari Kang Usep, salah seorang jamaah yang berasal dari Sukabumi.

Kami sempat berbincang sebentar. Sebelum akhirnya saya pamit karena mau ngurus sepeda. Tapi Kang Deni meyakinkan saya, akan aman karena di pelabuhan nanti ada orang Sunda yang bekerja di PELNI yang mengatur penumpang. “Aman kang, tenang saja,” katanya.

Lalu saya mulai menuju Pelabuhan L. Say (nama pelabuhan Maumere). Di tengah perjalanan ternyata saya melewati rumah mertua Om Nova. Dia memanggil saya. “Tadi saya cek ke Pelabuhan, bapak belum ada,” katanya.

Topik Lain :  Menurut Ahli Gizi, Inilah 15 Sayuran Paling Sehat untuk Dikonsumsi

Dia lalu menyilakan saya duluan ke pelabuhan karena menunggu anaknya yang masih tidur. Saya lanjut.

Di gerbang pelabuhan, petugas yang berjaga di gerbang langsung menyilakan saya masuk. “Bapak yang pakai sepeda sudah masuk,” katanya.

Petugas yang satu lagi minta saya berhenti sebentar. Bukan untuk ditanya surat-surat, tapi untuk diambil video biar bisa masuk Tiktok.

Masuk ke area penumpang saya juga langsung diarahkan mengambil jalan yang kosong, dan bahkan dibukakan pintu gerbang akses kendaraan. “Sudah bapak tunggu di sini saja,” kata seorang pria yang tidak saya kenal. Dia lalu pergi begitu saja.

KM Tidar yang akan membawa saya belum tampak. Tapi di dermaga sudah kelihatan banyak petugas yang bersiap menyambutnya.

Sekitar lima belas menit kemudian kapal mulai nampak, dan akhirnya sandar. Dan hiruk pikuk pelabuhan pun mulai. Ratusan buruh nyerbu kapal. Sementata penumpang bersiap turun. Sementara di bawah kami bersiap naik.

Saat itu saya sempat nerobos masuk dan bertemu Kang Yosi. Sosoknya yang besar membuatnya mudah ditemukan. Sepertinya Kang Yosi sudah menerima info tentang saya. Dia hanya tersenyum. “Kalem kang,” katanya.

Saat penumpang diizinkan naik, saya mulai mendorong sepeda mendekati kapal. Alhamdulillah tidak ada yang menyoal saya. Bahkan tidak ada yang minta tiket saya diperlihatkan.

Di bawah tangga saya copot pannier supaya saya bisa menggotong sepeda tidak terlalu berat. Saya titipkan sebentar kepada petugas yang berjaga di situ. Lalu saya naik tangga sambil menggendong sepeda.

Meski agak oleng sana oleng sini akhirnya saya berhasil sampai Dek 5. Saya simpan di pinggiran dek yang ada gagang kayu. Saya ikat erat-erat dengan tiga tali karet yang saya bawa. Aman.

Saya turun lagi mengambil pannier saya yang masih tergeletak di bawah. Sebelum naik tangga, tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada Kang Yosi, dan teman-teman PELNI lainnya yang telah mempermudah urusan saya.

Masuk ke dalam kapal, saya turun ke Dek 2. Melewati banyak nomor tempat tidur, sampai akhirnya saya menemukan nomor saya. Astaghfirullah, ternyata sudah ditempati orang. Ada beberapa botol minuman dan tas perempuan.

Saya periksa tiket saya sekali lagi untuk meyakinkan saya tidak salah nomor. Setelah sangat yakin, saya letakkan semua barang bawaan saya di matras nomor tersebut. Lalu saya ke kamar mandi.

Tidak berapa lama kemudian terdengar azan Maghrib. Saya tinggalkan pannier di tempat tidur, tapi ransel yang berisi dokumen dengan uang bekal yang masih tersisa “miliaran” rupiah ini saya bawa. Saya menuju mushola yang terletak di Dek 7.

Usai shalat Maghrib saya kembali ke tempat tidur. Alhamdulillah orang yang tadi menempati matras saya sudah pergi. Saya merasa gembira, karena artinya tidak perlu saling ngotot.

Saya lebih gembira lagi ternyata penumpang di sebelah kiri saya adalah ABG geulis keturunan Toraja yang mau mudik ke kampung halamannya lantaran libur sekolah.

Dua bapak-bapak yang di sebelah kanan senyam-senyum dengan rezeki saya. Lalu mereka saya ledek. “Mau tukar posisi dengan saya? Wani piro…,” kami pun tertawa.

Mungkin ke depannya PELNI harus memikirkan cara agar nomor tempat tidur juga memperhitungkan gender pemesannya. Kecuali untuk pemesan tiket dalam keluarga bolehlah digabung laki perempuan.

Sekitar jam 19.00 KM Tidar yang saya tumpangi mulai bergerak meninggalkan Maumere. Ini juga menandai babak baru dalam perjalanan Gowes Cipageran (Bandung Barat) ke Merauke (Papua Selatan). Babak yang diisi tiga etape naik kapal.

Maumere, 13 Juni 2025

Taufik Abriansyah