Mampir di Desa Adat Wologai

Santai58 Views

GITULAH.COMDay 42 [Ende – Paga 103 km]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

SESUAI rencana hari ini saya akan meneruskan perjalanan. Kembali gowes jarak jauh. Ettape yang akan saya tempuh, Ende – Maumere, jaraknya sekitar 140 km. Terlalu jauh untuk ditempuh dalam satu hari.

Apalagi saya belum tahu medannya seperti apa. Yang jelas, hingga ke pertigaan Kelimutu kontur jalannya lebih banyak tanjakan. Selain itu jika memungkinkan saya ingin mampir ke Desa Adat Wologai. Sebuah kampung yang memiliki rumah adat berusia ratusan tahun.

Pagi ini dibuka dengan cuaca mendung. Saya cuma bisa berdoa, semoga saja tak berubah menjadi hujan. Mendung lainnya adalah problem perut saya. Entah mengapa pagi ini saya kesulitan “BAB”.

Sekitar jam 08.00 saya mulai bergerak. Oom Tinto, staf di Balai TKN melepas sekaligus menerima pengembalian kuncii runah. “Semoga perjalanannya lancar, Pak,” katanya.

Saya tak sempat ketemu lagi dengaln Pak Heru karena beliau masih dalam perjalanan dari Bogor. Saya berpamitan via whatsapp. Sebagai kenang-kenangan, saya tinggalkan kaos bergambar Gowes Bandung Barat – Merauke dan sarung untuk Pak Heru dan Oom Tinto.

Masuk jalan raya, hari makin mendung. Dan perut saya baru mendengar panggilan alam. Di Pasar Wolowona saya berhenti. Berniat mencari WC umum. Di sebelah pasar ternyata ada Kantor Pegadaian. Saya ngacir ke situ. Kepada sekuriti yang berjaga saya minta izin ke toilet.

Beres urusan perut saya kontak Om Charles, sopir Damri yang beberapa hari laku membawa saya ke Kelimutu. Syukurnya Om Charles masih ada di belakang saya. Jadi saya bisa numpang hingga pertigaan Wologai.

Saat sedang menunggu Om Charles itu seorang bapak mendekati saya. Mengenakan kaos kutang dan bercelana pendek. Dia mengajak berkenalan. Namanya Pak Solihat, asal Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Mengetahui saya datang dari Bandung bersepeda dengan tujuan Merauke, Pak Solihat sontak mendoakan saya. Menariknya, dia juga mengingatkan saya untuk tidak lupa shalat lima waktu.

Topik Lain :  Day 25: Ngobrol Soal Willy, Radhar, Hingga Orang Indonesia

Di perjalanan ternyata benar turun hujan. Lumayan deras. Untunglah saya memilih naik bis. Pas di pertigaan Wologai, saat saya turun, masih gerimis. Saya langsung menepi ke kios yang kosong. Sembari nunggu hujan berhenti, saya santap nasi kuning yang tadi saya beli.

Setelah hujan berhenti saya kayuh sepeda. Jarak Desa Wologai sekitar 1,5 kilometer dari jalan raya. Jalannya berupa aspal kasar dan sebaguan ada kubangan. Suasananya sepi.

Sekitar jam 12.00 saya tiba di Wologaai. Saya tidak mendaftar sebagai wisatawan, karena saya akan menemui Pak Clemens Sambikakki. Beliau adalah adik ipar Pak Benedictus Renny See, Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, teman saya sejak bekerja sama di Bank Papua dulu.

Pak Clemens Sambikakki yang biasa dipanggil pak Clef bersama keluarga menyambut saya dengan hangat. Selain ada istri, ada juga cucu dan buyutnya. Wah ternyata beliau sudah punya buyut. Padahal kelihatannya usianya tidak beda jauh dengan saya.

Dengan sekejap kami langsung akrab. Pak Clef bercerita tentang kegiatannya sebagai petani kopi dan aktivitasnya terlibat dalam usaha kreatif warga desa. Sementara saya bercerita tentang perjalanan saya.

Saya lalu diajak makan siang. Namun, karena barusan tadi saya makan nasi kuning, terpaksalah ajakan itu saya tolak. Ya bagaimana, karena perut sungguh masih kenyang.

Bu Clef akhirnya membungkuskan saya nasi lengkap dengan lauknya. “Untuk dimakan nanti kalau sudah lapar,” katanya. Dalam bungkusan makanan itu, ada kue pula.

Pak Clef lalu mengajak saya masuk ke komplek Rumah Adat Wologai. Untuk itu saya harus mengenakan sarung terlebih dahulu. Sarung tenun khas Wologai.

Sambil berkeliling Pak Clef menjelaskan tentang masyarakat Adat Wologai yang menjaga tradisi budayanya bertahan hingga kini. Rumah-rumah adat yang kini telah menjadi kanpung wisata itu konon sudah berumur antara 300 sampai 800 tahun.

Saat berpamitan hendak meneruskan perjalanan, Pak Clef memberi saya cenderamata sebagai kenang-kenangan. Yang mengejutkan, pak Clef memberi saya tasbih. Padahal beliau seorang penganut Katolik. Istimewanya tasbih itu terbuat dari biji kopi. “Ini salah satu produk yang kami buat untuk mendukung wisata Wologai,” katanya.

Pak Clef bercerita, ada banyak produk kerajinan yang mereka buat untuk dijual kepada wisatawan yang datang. Salah satunya adalah rosario. “Lalu ada pengunjung Muslim bertanya, apakah ada tasbih?,” katanya. Nah sejak saat itu mereka mulai membuat tasbih dari biji biji kopi.

Topik Lain :  Day 15: 'Bapak Musafir, Jangan Halangi Saya Beribadah'

Setelah dari Desa Wologai dan masuk kembali ke jalan utama Ende – Maumere saya melaju kencang karena kontur jalannya menurun. Hingga melewati perrtigaan jalan ke Kelinutu saya bisa lalui sambil bersiul-siul.

Masuk daerah Moni, saya melihat banyak homestay dan hotel. Kebanyakan tamunya bule. Mungkin karena ini daerah dingin dan memiliki pemandanga bagus jadi banyak yang menginap di sini.

Selepas daerah Moni kontur jalan berubah menjadi tanjakan. Begitu berkali kali. Meski sudah mulai terbiasa dengan jalanan seperti ini, tetap saja saya kepayahan saat menanjak.

Di satu rimbun pepohonan saya bertemu tempat istimewa lagi. Namanya Taman doa Fatima Gua Maria Nualise Pelindung orang dalam perjalanan. Ada banyak patung Bunda Maria di tenpat ini. Tapi tidak ada satupun pengunjung.

Saya mengayuh terus nyaris tanpa berhenti. Saat mendapat jalan menurun, apalagi yang panjang, saya anggap sebagai kesempatan untuk ambil napas.

Selain ngejar waktu supaya tidak kemalaman, saya juga tidak menemukan masjid untuk shalat. Dari pemetaan yang saya lakukan sebelumnya, masjid ada di daerah Paga.

Namun, belakangan saya baru tahu ada masjid di daerah Wolowiro. Hanya saja lokasinya agak masuk ke dalam. Tidak persis di jalan utama. Pantas saja saya tidak melihatnya.

Saya sempat berhenti sebentar saat melihat ada tugu perbatasan antara Kabupaten Ende dengan Kabupaten Sikka. Ambil foto lalu langsung ngacir lagi.

Sekitar jam 17.30 saya tiba dii daerah Paga. Langsung merapat ke Masjid Jami Baiturahman. Buru-buru saya shalat dhuhur dan asar.

Jamaah kemudian berdatangan untuk shalat Magrib. Kepada seorang pria yang saya temui saya utarakan niat saya untuk numpang nginap di masjid. Beliau bernama Pak Haris, salah seorang pengurus masjid. Saya disilakan bermalam di dalam masjid. Bukan di terasnya. “Kami kemarin potong kurban di situ, maaf masih bau,” katanya sambil menunjuk halaman belakang masjid.

Malam harinya di Indomart yang ada di seberang masjid, saya bertemu Om Rian, salah seorang anggota KSTI (Komunitas Sepeda Touring Indonesia). Oom Rian tinggal di Maumere. Dia malam ini ke Paga untuk nengok orangtua sekaligus menemui saya.

Paga (Kab Sikka), 10 Juni 2025

Taufik Abriansyah