Day 24: Tetiba Musibah Terjadi, Hape Saya Mati Total

Santai503 Views

GITULAH.COMPENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 24

Jambi

Tidak ada gas membuat saya tidak bisa menyalakan kompor pagi ini. Biasanya sehabis Shalat Subuh, saya sudah bisa langsung menyeduh kopi. Kali ini saya harus membeli di luar.

Layanan kamar di tempat saya menginap di Jalan Pangeran Hidayat ini masih belum tersedia. Maklum hari masih gelap. Untungnya saya tahu di sebelah ada warung. Mudah-mudahan sudah buka.

Tadi malam saat sedang celingukan di daerah Kota Baru ini, seorang pemuda menyapa saya.

“Abang mau ke mana? Mampir dulu ke ‘basecamp‘ kami. Kami anak sepedahan juga,” katanya. Sambil menunjuk bangunan di sebelah tempat kami berdiri.

Mendengar mereka anak sepedahan juga, saya jadi tertarik untuk mampir. Tapi saya belum shalat Maghrib. Badan saya masih keringatan, dan saya ingin sekali segera mandi.

“Oke, nanti saya ke situ. Sekarang saya mau narok barang dulu,” jawab saya.

Dia tampak kecewa. Tapi mengerti juga dengan alasan saya. Sebelum beranjak, kami sempat berkenalan. Namanya Musa. Umur masih sekitar 25 tahun.

Tapi, wajahnya tampak senang ketika saya benar-benar mampir ke markasnya. Selain Musa, ada empat anak muda seumuran dia lagi di situ. Mereka rupanya pegawai bengkel di showroom mobil tempat itu.

Nah, di sela-sela pekerjaan bengkel itu, mereka ngoprek sepeda.
“Kami lagi ‘ngebangun’ Federal juga, Bang. Tapi nggak selesai-selesai karena belum ada duitnya,” kata salah seorang dari mereka.

Mereka sangat antusias mendengar cerita pengalaman saya selama touring ini. Anak-anak ini kemudian menjamu saya dengan nasi goreng. Alhamdulillah, selamat untuk makan malam ini.

Karena pertemuan dengan Musa dan kawan-kawan itu saya jadi tahu ada warung di samping tempat saya menginap.

Karena tidak gowes antarkota, saya lebih santai. Pagi ini saya sempat memandikan sepeda yang kemarin sangat kotor kecipratan air hujan di jalan.

Sekitar jam 10.00 saya baru bergerak. Tujuan saya adalah kawasan Tugu Keris Siginjai. Monumen yang merupakan ikon dari Kota Jambi. Bentuknya menyerupai keris Siginjai, keris Kerajaan Jambi. Ini merupakan pusat warga Jambi berkumpul di hari minggu. Kawasan car free day.

Saat saya tiba di lokasi, CFD sudah berakhir. Kendaraan sudah mulai lalu-lalang. Tapi sisa-sisa orang berjualan masih tampak. Rencananya di sini saya bertemu dengan rekan wartawan yang bertugas di Jambi.

Topik Lain :  Njir, Gowes ka Papua

Dari kawasan Tugu Keris Siginjai yang berada di daerah Kota Baru, saya membawa sepeda ke daerah The Hok. Nama kelurahan ini diambil dari seorang pedagang karet keturunan Tionghoa, Tjoa The Hok. Di sini saya akan menemui ibundanya Apt H Chairini, S.Si, Ketua Yayasan Fithrah Insani, Bandung. Tempat anak saya sekolah dulu.

Bu Rini, biasa disapa, rupanya ikut memonitor perjalanan saya. Maka saat tiba di Jambi tadi malam, beliau kontak dan minta saya bersilaturahmi ke rumah ibundanya. Bu Rini rupanya kelahiran dan besar di Jambi.

Sempat berputar jalan gara-gara jalur dipakai orang hajatan, saya akhirnya tiba di rumah ibunda Bu Rini di Jalan Barau-barau. Saya diterima dengan hangat.

Beliau bernama Bu Mustho’inah, berusia 82 tahun. Meski sudah sepuh, beliau terlihat segar dan ngobrol dengan sangat sistematis. Bu Mustho’inah dulunya guru agama. Lulusan PGA.

Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama. Saya sudah ada janji ketemu teman untuk ngecek sepeda.
“Semoga perjalanannya lancar,” kata Bu Mustho’inah saat saya berpamitan.

Dari rumah ibunda Bu Rini di The Hok saya meluncur menuju daerah Sipin. Di sini ada Masjid Al Falah, yang juga dikenal sebagai Masjid Seribu Tiang, salah satu ikon kota Jambi. Siapa tahu masih keburu ikut shalat Dzuhur berjamaah.

Tapi saat melintas di jalan, saya melihat ada toko menjual martabak telur dengan kuah kari, saya malah mampir. Pedagangnya perempuan keturunan India. Saya kira seperti martabak HAR di Palembang.

Ternyata saya kecele. Martabaknya seperti martabak telur kebanyakan, hanya disajikan dengan kuah kari. Meski agak kecewa, saya sikat habis juga.

Saat tiba di Masjid Agung Al Falah, shalat Dzuhur berjamaah sudah selesai dilaksanakan. Saya akhirnya melaksanakan shalat sendirian.

Dari Masjid Al Falah, saya menuju daerah Sungai Kambang, ke bengkel sepeda Babe Bike. Tempat ini menjadi persinggahan para peturing yang lewat lintas timur. Termasuk para goweser tujuan Makkah.

Sekitar jam 14.00 saya tiba. Pemilik Babe Bike sedang makan siang dengan tamunya : Pak Suwaji.
“Nah, ini dia yang ditunggu sudah datang. Dari Cimahi kan,” katanya. Ternyata beliau sudah dapat info dari penggiat sepedahan lain bahwa saya akan melintasi Jambi.

Saya diajak bergabung makan. Tapi, karena kenyang tadi sudah makan martabak, saya memilih makan nanas yang ada di meja. Ternyata di Jambi nanas termasuk kategori lauk, bukan pencuci mulut.

Topik Lain :  Day 26: Kota/Kabupaten ke-33 yang Saya Lewati Sejak dari Bandung Barat

Mekanik Babe Bike, Oom Isman, lalu memeriksa sepeda saya. Terutama bagian gear dan rantai. Menurutnya gear masih aman, tapi rantai sebaiknya diganti. Khawatir nanti bermasalah di jalan, saya setuju untuk ganti rantai. Sejak di bengkel Bike House di Palembang, saya sudah disarankan untuk mengganti rantai.

Namun, mencari rantai sepeda 10 speed di Jambi bukan perkara mudah. Apalagi itu hari Minggu, kebanyakan toko yang menjual sparepart sepeda justru tutup. Babe membantu dengan mengontak bengkel-bengkel lain. Barangkali punya rantai 10 speed. Alhasil saya harus menunggu hingga besok. Berarti harus menginap dua malam lagi di Jambi.

Babe punya nama asli Iip Syarifudin. Aslinya seniman, penyair, pemain musik, dan aktivis kesenian di Jambi.
“Saya punya delapan nama panggilan. Beda komunitas beda pula saya dipanggil,” ujarnya.

Setelah shalat Ashar berjamaah di mushola dekat bengkel, saya undur diri. Tujuan saya ke daerah Telanaipura. Mengunjungi Cek Fetty, saudara dari pihak bapak. Saat bertemu, Cek Fetty memaksa menginap di rumahnya saja. Di sebelah rumah Cek Fetty ada rumah Cek Yet.
Kagek (nanti) kau tidur dengan Wisnu,” kata Cek Fetty. Wisnu adalah anaknya Cek Yet. Cek adalah panggilan ke kakak perempuan.

Karena sadar akan menginap di Jambi dua malam lagi, saya berjanji akan mampir dan menginap besok malam saja. Malam ini saya sudah janjian dengan Cik Nur (bibi) akan menginap di rumah Helda, salah seorang anaknya. Cik Nur ini adalah saudara dari pihak ibu.

Dari Telanaipura saya bergerak menuju daerah Mayang. Jaraknya sekitar 6 km. Saya dipandu google maps melewati jalan tikus dengan banyak belokan. Menjelang maghrib saya tiba di daerah Mayang. Jarak rumah Helda tinggal beberapa ratus meter lagi. Tiba-tiba musibah terjadi. Hape saya drop. Mendadak mati. Matot. Mati total.

Beberapa saat saya kebingungan. Tapi ada pedagang es kelapa muda, saya pesan dulu satu. Biar mendinginkan kepala. Untungnya saya punya catatan nomor kontak kakak saya. Pinjam hape milik ibu warung, saya kontak kakak saya supaya memberi kabar Cik Nur mengenai situasi yang sedang saya hadapi. Beberapa saat kemudian, Rizky mantunya Cik Nur datang menjemput saya. Alhamdulillah.

Saat diperiksa Helda, batere hape saya ternyata sudah kembung. Mungkin karena sering kepanasan. Masih untung tidak sampai meledak.

Albi, putra Helda yang baru kelas 2 SD terbengong-bengong melihat sepeda saya. “Hah, datang dari Bandung pakai sepeda,” katanya. Tak percaya dia.

Minggu, 11 Agustus 2024

Taufik Abriansyah