Day 12: Karena Federal Kita Bersaudara

Santai571 Views

GITULAH.COMPENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 12

Sumber Jaya – Way Kanan (Lampung)

“Perdjalanan seribu mil pun harus dimulai dengan satu langkah yang pertama”.

Kata-kata Bung Karno yang tertera di prasasti di pertigaan Sumber Jaya itu sungguh relevan dengan apa yang sedang saya lakukan. Gowes bermil-mil jauhnya pun harus dimulai dari gowesan pertama.

Hari ini saya mulai dengan bercengkerama bersama Kak Syahrin dan Cek Murni di meja makan yang ada di dapur. Segelas kopi Lampung dan sepiring singkong goreng menemani kami di pagi yang dingin itu. Suhu di Sumber Jaya saat itu 21⁰ C. Mirip-mirip suhu di tempat tinggal saya di Cipageran.

Banyak hal yang kami perbincangkan. Terutama tentang sepeda dan tentang pengalaman berhaji mereka berdua. Setelah itu saya mandi. Mempersiapkan diri. Seluruh gadget untuk sepedahan seperti speedometer, lampu, dan speaker sudah saya cas. Lalu saya pasangkan kembali di tempatnya.

Sekitar jam 08.00 saya berpamitan. Seperti biasa, kami foto-foto dulu. Cek Murni membekali saya kue dan nasi bungkus untuk saya makan nanti di jalan.

Bukan soal makan yang menjadi pikiran saya. Tapi tanjakan di tiga kilometer pertama ini yang pasti akan menguras tenaga. Bismillah.

Kembali melewati Patung Soekarno, saya belok kanan. Ke arah Bukit Kemuning. Di sebelah kanan ada kios penjual bubur ayam Bandung. Daerah ini memang banyak orang Sunda.

Tiga kilometer pertama ini lumayan tajam. Saya susah payah mengayuh sepeda. Sudah jalannya mendaki, jalan yang pas untuk dua kendaraan itu pun terasa ramai. Keringat sudah mengucur deras.

Berkali-kali saya berhenti. Ibu-ibu yang sedang menjemur kopi keheranan melihat saya. Sampai akhirnya tiba di puncak tanjakan, baru saya merasa lega. Sebab kaki saya sudah terasa mendingin. Gejala akan kram.

Puncak tanjakan ini adalah rest area di tengah hutan pinus. Saya minum dulu, dan nyetel gigi paling tinggi. Setelah itu saya meluncur. Jalur turunan, apalagi yang curam seperti ini, membuat saya harus lebih hati-hati. Harus sering-sering menekan dan melepas rem. Speedometer sudah menunjukkan angka 52 km/jam. Terlalu kencang. Berbahaya. Saya segera memencet rem untuk mengurangi kecepatan.

Topik Lain :  Gowes Cipageran (KBB) - Sabang KM 0: Mensyukuri Nikmat Allah, Merayakan Indonesia

Yang menjadi tantangan saya adalah sinar matahari. Karena Bukit Kemuning mengarah ke timur, maka gowes saya persis menghadap matahari.

Sekitar jam 09.30 saya tiba di Bukit Kemuning. Mampir lagi di Masjid Babussalam tempat saya dzuhur kemarin. Gigi sepeda kembali saya setel di tengah, dan memeriksa pesan-pesan di hape.

Saat itulah saya membaca kabar duka. Bahwa Mang Oddie, rekan goweser di Fedkoci (Federal Kota Cimahi) telah meninggal dunia. Semoga beliau husnul khotimah. Aamiin.

Di Bukit Kemuning belok kiri ke arah Way Kanan. Masuk lagi jalan lintas Sumatra. Beberapa kilometer dari Bukit Kemuning mata saya menyapu sebelah kanan jalan. Mencari-cari rumah makan yang dulu pernah saya singgahi dengan anak sulung saya: Indi.

Indi masih berumur enam tahun. Saya ajak dia ke Medan untuk menghadiri pernikahan sahabat saya Hilman. Naik ALS (Antar Lintas Sumatera). Nah, bus berhenti di sebuah rumah makan di Bukit Kemuning, sekitar subuh.

Saya ajak Indi masuk kamar mandi. Mau mandi maksudnya. Tapi tak dinyana kamar mandi itu ternyata tempat mandi bersama. Saya dan Indi sungguh risih melihat pemandangan yang ada. Kami tidak terbiasa mandi bareng dengan orang lain. Walaupun sama-sama laki-laki. Alhasil kami tak jadi mandi.

Dari Bukit Kemuning ke arah Way Kanan jalan cenderung menurun. Kembali saya melaju kencang. Mendekati daerah Baradatu ada mobil pick up menyalip. Berhenti beberapa meter di depan saya. Sopirnya menjulurkan tangan. Seperti mengepal sesuatu, dia minta saya berhenti.

“Ini pak, untuk beli makan,” katanya. Waduh, saya sungguh terharu. Tak tega saya menerimanya. Perkiraan saya umurnya belum 40 tahun. Saya tolak dengan halus.

“Alhamdulillah, saya sudah makan. Simpan saja uangnya, kang,” kata saya.

“Bener pak?” katanya lagi.

“Iya. Aman,”kata saya sambil meninggalkannya.

Mobil itu akhirnya meninggalkan saya. Sopirnya dadah-dadah. Saya lihat sekilas plat nomornya H. Wah, dari Semarang.

Menjelang dzuhur saya tiba di Baradatu. Kota kecamatan yang ramai seperti Bukit Kemuning. Saya merapat ke Masjid Agung Takwa. Ngetem dulu sambil berkomunikasi dengan Oom Amir Wakanda, teman federalist di Way Kanan. Rencananya nanti saya akan menginap di RF Way Kanan.

Lumayan lama saya di masjid ini. Selain shalat, sempat pula tertidur. Masjid ini bikin betah karena dingin oleh AC, sementara di luar panas pisan. Ada tersedia colokan listrik pula.

Topik Lain :  Bagi yang Hipertensi, Ini 5 Cara Alami Turunkan Tekanan Darah

Saat bergerak lagi, di kanan jalan saya lihat ada Rumah Sakit Zainal Abidin Pagar Alam. Bangunannya besar, terasa kontras karena tidak ada perkampungan di sekitarnya. Setelah itu ada pula bangunan Universitas Lampung PSDKU (Program Studi Diluar Kampus Utama) Way Kanan.

Peristiwa keren saya alami ketika mendaki tanjakan Umpu. Ini tanjakan terakhir yang akan saya lewati sebelum ketemu pertigaan Blambangan Umpu. Tanjakan ini lumayan tajam. Jangankan bersepeda, mobil pun harus menggunakan gigi satu untuk lolos dari tanjakan ini.

Nah, saat saya terengah-engah dan fokus mengayuh, di samping kanan saya ada bus berusaha menyalip. Cukup dekat. Dari pintu depan, tangan kernetnya menjulurkan botol aqua untuk saya.

“Ini bang. Minum,” teriaknya mengimbangi raungan suara mesin bis.

Saya tidak berani melepas satu tangan untuk mengambil botol itu.
“Lempar saja !,” teriak saya. Akhirnya botol itu dilempar.

Saya buru-buru berhenti memungutnya. Walau sepertinya sepele, karena hanya sebotol Aqua, tapi itu sangat berarti bagi saya. Air dingin di tengah situasi panas dan nanjak, sangatlah berharga.

Bis itu ternyata bis ALS. Pemberian Aqua itu menjadi penawar cerita konyol di kamar mandi Bukit Kemuning, 24 tahun silam.

Setelah melewati tanjakan, ketemu dengan Simpang Empat Blambangan Umpu. Di bawah tugu, ada pria bersepeda memanggil saya, Amir Wakanda! Saya kira itu nama aslinya. Ternyata Wakanda adalah kependekan dari Way Kanan Federal. Kami pun berkenalan.

Oom Amir menjelaskan bahwa pemilik RF Way Kanan sedang tidak ada di tempat. “Jadi Oom ke rumah saya,” katanya.

Dalam istilah kami yang biasa turing, ini situasi disebut kena begal. Kita mampir di luar yang kita rencanakan.

Dari perempatan itu kami gowes sekitar 10 km menuju Blambangan Umpu. Ibukota Kabupaten Way Kanan. Sekitar satu jam mengayuh, kami tiba di bunderan yang menjadi ikon Blambangan Umpu. Di situ ada Patung Mayor Jenderal Musannif Ryacudu. Tokoh militer kelahiran Kabupaten Way Kanan ini merupakan ayahanda mantan Menteri Pertahanan Jenderal Riyamizard Ryacudu.

Di pelataran patung itu kami berbincang-bincang. Kami tidak saling mengenal sebelumnya. Tapi kami langsung akrab. Oom Amir tidak ragu mengajak saya menginap di rumahnya di daerah Karang Umpu. Keluarganya pun menerima saya dengan hangat.

Ini memang bawaan kami sebagai federalist. Seperti syair Mars Federal yang biasa kami nyanyikan. “Karena Federal Kita Bersaudara”.

Selasa, 30 Juli 2024

Taufik Abriansyah