Day 10: Dari Mulut Gang Tiba-Tiba Emak-Emak Bermotor Nyelonong

Santai552 Views

GITULAH.COMPENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 10
Metro – Kotabumi (Lampung)

Tidur di kamar ber-AC dengan kasur empuk membuat tidur saya sangat nyenyak tadi malam. Bangun sekitar pukul 05.00 badan saya terasa sangat fresh.

Dalam touring panjang seperti ini, istirahat yang berkualitas adalah faktor yang sangat penting. Apalagi kalau ditambah mengonsumsi vitamin tiap pagi. Saya mampu gowes rata-rata 100 km. Tiap hari.

Sebenarnya belakangan ini ada satu obat yang mestinya saya minum tiap hari. Yaitu obat untuk hipertensi amlodipin. Tapi sialnya saya lebih sering lupa meminumnya.

Kamar yang saya tempati terpisah dari rumah utama. Semacam paviliun. Rumah Mang Syukri ini sangat luas. Di bagian belakang ada kamar kontrakan dan di samping rumahnya ada mushola yang lumayan besar.

Tidak mau merepotkan Badruz, saya nyalakan kompor untuk memasak air. Saya masih punya nastar bekal perjalanan untuk menemani ngopi pagi ini. Cukuplah untuk sarapan saya.

Selesai mandi saya beres-beres barang bawaan. Pintu diketuk. Rupanya Badruz menyilakan saya ke meja makan untuk kami sarapan bersama-sama. Di meja sudah tersedia nasi kuning dan satu porsi martabak kari.

Saya memilih menyantap kari. Sementara nasi kuning yang dalam keadaan terbungkus itu saya bawa. Bisa untuk makan siang nanti.

Sambil sarapan, kami kembali terlibat pembicaraan hangat. Apalagi Mang Syukri juga memonitor kami dengan video call. Saya senang juga mengenal saudara baru, adik kakak nenek ini.

Sekitar jam 08.00 saya berpamitan. Hari ini dari Metro saya akan menuju Kotabumi, dengan jarak tempuh sekitar 75 km. Badruz bersama istri dan anaknya melepas saya dengan pelukan hangat. “Nanti kapan-kapan kami yang main ke Bandung, kak,” katanya.

Yang mengharukan, dari balik lipatan sarungnya Badruz mengeluarkan amplop yang kemudian diberikan kepada saya. “Ini untuk sekadar tambahan bekal,” katanya.
Saya risih juga. Saya berusaha tolak dengan halus.
“Ini amanah dari ayah,” tambah Badruz lagi.
Ya, alhamdulillah. Terima kasih Mang Syukri.

Menuju arah luar kota, ternyata saya kembali melewati Lapangan Merdeka. Suasananya seperti Alun-Alun kalau di Cimahi. Bersamaan dengan hari Minggu, tempat itu menjadi wadah warga Metro berolah raga.

Ada yang sekadar jalan, lari, olah raga ringan, maupun sepedahan. Di beberapa titik terlihat komunitas sepeda berkumpul. Mereka bertepuk tangan dan berteriak melihat saya melintasi mereka.

Saya sengaja tidak mampir karena biasanya akan makan waktu yang tidak sedikit. Saya hanya menjawab dengan lambaian tangan saja membalas sapaan mereka.

Di lampu setopan lalu lintas, terdengar suara dari speaker yang mengumandangkan program-program pemerintah. Salah satunya imbauan untuk membayar PBB tepat waktu.

Topik Lain :  Asmaul Husna Menghalau Mual

Dari Lapangan Merdeka saya menyusuri jalan yang melewati Terminal dan Pasar Cenderawasih. Sampai daerah Punggur, sekitar 8 km dari pusat kota saya baru belok kiri.

Satu hal yang menarik perhatian saya di sepanjang jalur ini adalah banyaknya kotak-kotak pengumpulan dana. Kebanyakan kotak amal untuk pembangunan masjid. Tapi ada pula kotak amal panitia Agustusan, dan satu yang istimewa menurut saya adalah kotak amal untuk membantu keluarga yang meninggal dunia.

Kontur jalan terbilang datar. Lalu lintas relatif sepi. Cuaca masih cukup bersahabat. Di kilometer 22 saya bertemu dengan kolong jalan tol lintas Sumatra. Beberapa meter kemudian ada pertigaan. Ke kanan arah Kota Gajah, ke kiri arah Bandar Jaya. Saya belok kiri.

Tidak jauh dari pertigaan itu ada Gedung DPRD Kabupaten Lampung Tengah, dan makam Mbah Gunung Sugih. Nah, nama Gunung Sugih ini yang menjadi nama kota dan sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Lampung Tengah.

Sekitar dua kilometer mengayuh, saya bertemu pertigaan jalan lintas Sumatra. Di seberang ada komplek perkantoran Pemkab Lampung Tengah yang ditandai patung tapis dan patung pengantin. Tapi sayangnya patung itu tertutup tenda pedagang. Jadi saya lewatkan saja.

Belok kanan ke arah Bandar Jaya saya kembali mengayuh di jalan lintas Sumatra. Langsung terasa perbedaannya. Arus lalu lintas terasa padat dengan mobil-mobil besar, debu makin banyak, dan cuaca makin panas. Saya lebih banyak berjalan di bahu jalan supaya lebih aman.

Di bahu jalan ternyata ada risiko lain. Dari mulut gang tiba-tiba emak-emak bermotor nyelonong. Kalau tidak waspada saya bisa nabrak motornya. Dan sudah pasti dia tidak mau mengalah memberi jalan. Ras terkuat di jalan raya. Hehe.

Melintasi kota Bandar Jaya ini terasa betul ingar-bingar seperti kota besar. Di pusat kota ada Masjid Istiqlal Bandar Jaya, persis nama masjid di Jakarta.

Di satu Indomaret saya mampir untuk beli pocari. Di terasnya ada si mbah berjualan berbagai makanan ringan. Salah satunya adalah nangka. Ada dua bungkus. Saya naksir nangka itu karena kelihatan tua dan manis.

Saya masuk ke dalam toko untuk beli minuman. Ngantre di kasir. Dan segera kembali menghampiri si mbah. Ternyata dua bungkus nangka tadi sudah disatukan dalam satu kresek. “Sudah ada yang beli,” kata si mbah waktu saya nunjuk pengen nangka itu. Wah.

Saya berdiri dengan kecewa. Bersamaan dengan itu dari dalam toko keluar pria berperawakan tegap menghampiri si mbah. Mengambil nangka itu dan mengangsurkan uang Rp 10.000. Artinya sebungkus hanya Rp 5.000.

Melihah hal itu spontan saya menyapa pria itu. “Oom kalau nangkanya kebanyakan, saya beli satu lah,” kata saya.

Tanpa banyak bicara, dia langsung menyerahkan satu bungkus kepada saya. Dia menolak waktu saya mau membayar. “Sudah ambil saja. Ini rejeki bapak,” katanya sambil masuk ke mobilnya. Alhamdulillah saya dapat nangka yang saya inginkan dengan cuma-cuma.

Topik Lain :  Sambut Ramadan, Ita Purnamasari Rilis Single Religi Versi Baru dari Karya Klasik

Saat isirahat menjelang dzuhur di Masjid Nurul Amal Yukum Jaya, nangka itu saya makan. Nasi kuning yang tadi dibekelin Badruz juga saya selesaikan.

Bungkusan nangka ternyata berisi sangat banyak. Manis pula. Bersisa hingga saya tiba di Kotabumi. Sungguh tidak kecewa saya telah memberanikan ngomong dengan si Oom di Indomaret tadi.

Saat mengayuh lagi, lepas dari keramaian Bandar Jaya, saya bertemu dengan pertigaan pintu masuk jalan tol. Agak mengherankan juga, saya sama sekali tidak melihat papan penunjuk Jalan Tol.

Tidak jauh dari situ, ketemu lagi pertigaan Terbanggi Besar yang membagi arus lalu lintas Sumatra menjadi lintas timur dan lintas tengah.

Bila belok kanan artinya masuk lintas timur melewati kota Menggala, Mesuji, Kayuagung, dan Palembang. Bila ke arah kiri, masuk lintas tengah melewati Kotabumi, Martapura, Baturaja, Prabumulih, dan Palembang.

Sesuai misi untuk mengunjungi sanak saudara, saya memilih lintas tengah. Walau selisih jaraknya bisa 200 km ketimbang melalui lintas timur.

Setelah pertigaan Terbanggi Besar itu, arus lalu lintas menjadi lebih sepi. Rumah-rumah penduduk pun makin jarang. Salah satu yang menarik perhatian saya di jalur ini banyak bangunan semacam prasasti perguruan silat. Prasasti semacam ini sering terlihat saat saya melintas di Jawa Timur. Dan satu hal yang cukup mencolok adalah kebanyakan sepeda motor yang lalu lalang di jalur ini tanpa pelat nomor.

Masuk daerah Way Pengubuan kontur jalan terasa rolling  naik turun. Setelah melewati fly over jalan kereta api, saya bertemu gapura tanda masuk wilayah Kabupaten Lampung Utara. Saya berhenti sebentar untuk ambil foto.

Setelah mengayuh lagi, beberapa menit kemudian saya melihat rumah-rumah panggung khas Sumatra. Nama daerah ini Blambangan Pagar. Pas adzan Ashar saya masuk ke Masjid Al Musyawarah di daerah Gunung Labuhan. Jaraknya 11 kilometer lagi ke Kotabumi. Di masjid itu sudah menunggu Oom Yoeli, federalist Felaut (Federal Lampung Utara).

Saya melanjutkan perjalanan dikawal Oom Yoeli. Kembali saya merasakan sensasi sebagai federalist, penggemar sepeda federal.

Sekitar jam 17.00 saya tiba di Kotabumi, ibu kota Kabupaten Lampung Utara. Satu ikon kota yang menyambut adalah patung RPN (Ratu Prawira Negara).

Setelah ambil foto sebentar, Oom Yoeli mengarahkan saya menuju Jalan Cengkeh. Di situ ada RF (Rumah Federal) yang sering menjadi tempat persinggahan peturing seperti saya. Oom Misdi, sang pemilik RF, menyambut saya dengan hangat. Kami memang sudah berkenalan saat di Jamnas kemarin. Dan seperti biasa kami terlibat pembicaraan yang mengasyikkan. Ditengahi dengan kopi dan aneka gorengan.

Malamnya Oom Misdi juga menjamu saya dengan ayam goreng plus sambel yang enak banget. Malam ini saya menginap di RF Kotabumi dengan fasilitas sangat memanjakan.

Minggu, 28 Juli 2024

Taufik Abriansyah