GITULAH.COM –– PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.
Day 36
Lubuk Sikaping (Sumbar) – Kotanopan (Sumut)
Hari ini Jumat lagi. Berarti sudah 5 pekan sejak meninggalkan Cipageran, Kabupaten Bandung Barat. Jumlah jarak yang sudah saya tempuh sudah lebih dari 2.500 km. Sayangnya tidak ada event virtual yang saya ikuti. Melihat jumlah kilometer yang dilalui, kalau pas ada event virtual, ada potensi saya bisa naik podium.
Bangun pagi ini badan saya sudah lebih segar. Tapi soal kedinginan saat kena air ternyata masih berlanjut. Alhasil pagi ini tidak mandi lagi.
Sekitar jam 07.00 pagi kami mulai bergerak meninggalkan tempat menginap di Kantor Pos Lubuk Sikaping. Pak Andre, pegawai PT Pos mengantarkan kami. Sementara Pak Apri, sekuriti yang tadi malam membukakan pintu sedang sibuk beres-beres.
Di etape-etape berikutnya ada kemungkinan saya akan lebih sering menginap di kantor pos. Di musholanya atau di salah satu ruangan. Pasalnya, Pak Muslir Datuk Kuning adalah pensiunan PT Pos. Soliditas pegawai Pos ternyata sangat kuat. Alhamdulillah. Di satu sisi, ini bisa menghemat biaya penginapan.
Sebelum meninggalkan kota, kami sarapan dulu, lontong padang. Di meja disajikan gorengan. Ada satu yang persis banget penganan favorit di Bandung, bala-bala. Dan satu lagi gorengan yang sering saya temui saat bocil dulu di Palembang, pisang yang diremas-remas dengan tepung.
Keluar dari kota Lubuk Sikaping bertemu dengan areal persawahan dan ladang. Yang menarik perhatian saya, orang-orangan pengusir burung di sawah, di sini memakai boneka manekin. Bukan baju yang digantungkan. Dari jauh tampak seperti barisan orang sedang berdiri.
Masuk daerah Panti, saya berpapasan dengan seorang peturing memakai seli (sepeda lipat). Rupanya dia orang yang saya kenal juga, Syam, asal Subang. “Sekarang saya tinggal di Garut, kang. Alhamdulillah tos nikah,” katanya.
Syam ini setahu saya selalu touring. Entah ke mana saja. Dengan seli nya dia pernah sampai ke Merauke. “Ieu bade uih ka Garut, ti Sibolga,” katanya. Mau pulang ke Garut dari Sibolga.
Sebelum berpisah, saya berikan sebungkus biskuit bekal saya. Setelah itu masing-masing kami meneruskan perjalanan.
Satu peristiwa mendebarkan saya alami dalam segmen ini saat melintasi daerah Rao. Ada satu truk bermuatan sembako berpapasan. Persis saat bersebelahan, tiba-tiba pintu belakang truk itu terbuka. Muatannya berhamburan. Dan, astaghfirullah, ada orang yang ikut terjatuh.
Saya kontan menghentikan laju sepeda. Orang-orang berdatangan membantu kenek yang jatuh tadi. Ajaibnya dia langsung berdiri seolah tidak terjadi apa-apa. Dia malah segera mengangkat kardus-kardus yang berhamburan di jalan.
Mendekati waktu jumatan, kami melipir ke Masjid Raya Shirotul Huda di daerah Muara Cubadak. Masih di wilayah Kabupaten Pasaman. Khutbahnya dalam bahasa Indonesia.
Tak ayal kami jadi perhatian. Maklumlah hampir semua jamaah jumatan rapi mengenakan baju koko atau bahkan bergamis. Kami bertiga tampak lusuh mengenakan jersey sepedahan.
Selesai shalat Jumat kami lanjut lagi. Perut sudah lapar. Warung makan baru ada sekitar tiga kilometer dari masjid. Saya makan dengan nikmat karena betul-betul lapar.
Namun masalah lain muncul. Karena perut kenyang, kantuk pun datang. Cukup lama kami beristirahat di warung makan ini.
Beberapa kilometer dari tempat makan, ketemu dengan gapura batas provinsi Sumatra Barat dengan Sumatra Utara. Alhamdulillah perjalanan saya sudah lebih maju lagi. Jarak ke finish di Aceh sudah semakin dekat.
Masuk wilayah Muara Sipongi saya berhadapan dengan tanjakan yang aduhai pedasnya. Sudah tajam panjang pula. Berkali-kali berhenti untuk minum dan ambil napas. Mirip-mirip tanjakan Ciloto – Puncak atau Cikole – Tangkuban Perahu.
Melewati kota Kecamatan Muara Sipongi saya melihat rumah-rumah kayu yang rata-rata terlihat sudah tua. Anak-anak menyambut kami dengan antusias. Ada yang berteriak “Merdeka”, ada yang berteriak “In-Do-Ne-Sia”, meniru suporter badminton. Menariknya ada pula yang menyapa dengan panggilan “Hai Mes”. Semula saya bingung apa maksudnya. Belakangan baru saya tahu maksudnya adalah, hai mister.
Menjelang maghrib kami masuk Kota Kecamatan Kotanopan. Kota ini mengingatkan saya pada dua tokoh besar, yang seingat saya berasal dari sini.
Yang pertama adalah pahlawan revolusi Jenderal AH Nasution, dan tokoh pers Mochtar Lubis. Meski lahir di Padang, Mochtar Lubis berdarah bangsawan Mandailing. Rumah orang tuanya di Kotanopan.
Saya punya kenangan khusus dengan Pak Mochtar ini. Sebagai mahasiswa komunikasi, kami sangat menghormati wartawan kawakan ini. Dalam kenangan saya, buku Pak Mochtar berjudul “Catatan Subversif” adalah buku pertama yang saya beli. Dengan uang sendiri. Padahal waktu itu saya baru berumur sekitar 13 – 14 tahun, antara kelas 1 kelas 2 SMP.
Entah mengapa sejak kecil saya sudah punya naluri untuk bersimpati pada hal-hal yang bertentangan dengan demokrasi. Bertentangan dengan hati nurani. Dan Pak Mochtar Lubis adalah salah satu tokohnya.
Jumat, 23 Agustus 2024
Taufik Abriansyah