GITULAH.COM — PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.
(Taufik Abriansyah kepada pembaca gitulah.com: “Dikarenakan ada kendala teknis, Day 32 dan 33 belum bisa ditayangkan”)
Day 34
Bukittinggi (Sumatra Barat)
Hari ini saya istirahat dari gowes antarkota. Selain untuk memulihkan tenaga, ada beberapa hal yang harus saya lakukan. Yang paling penting adalah menyervis sepeda dan membeli hape baru. Kebetulan dua tiga hari ini saya merasa ada masalah di gear sepeda. Tiap kali oper gigi ke gigi rendah terasa koclak.
Sementara soal hape, sepertinya memang sudah mendesak untuk ganti baru. Dilem biru, dilempar beli baru, kata anak sekarang. Alhamdulillah ada rezeki dari udunan anak-anak saya. Hape yang saya pegang ini sebenarnya punya memori tersendiri.
Lima tahun lalu ada masa hape saya juga rusak. Beberapa bulan saya biarkan rusak. Hidup tanpa hape dan menyibukkan diri dengan aktivitas membantu kegiatan masjid di lingkungan tempat tinggal saya.
Ternyata bos saya yang juga penyair kawakan Mas Yudhistira ANM Massardi (alm) sedang mencari-cari saya. Ada kerjaan di Papua buat saya. Beliau sampai mengutus teman wartawan di Bandung, Kang Darono, mendatangi rumah saya di Cipageran.
Mengetahui saya sulit dihubungi lantaran hape rusak, Mas Yudhis sampai membelikan hape baru. Jadilah ini hape yang saya pakai lima tahun belakangan ini.
Pagi ini, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, begitu bangun tidur saya sudah bercengkerama dengan rekan sesama goweser. Dan sudah pasti ada kopinya. Adalah Pak Teguh Yuriman dan Pak Muslir Datuk Kuning yang menjadi teman ngobrol. Keduanya akan bergabung dengan saya melanjutkan perjalanan hingga KM 0 Sabang. Jadi mulai besok gowes saya tidak lagi sendirian teuing. Pak Teguh dan Datuk Kuning saya kenal setahun lalu sama-sama gowes touring ke Malaysia hingga Thailand.
Mengetahui saya sudah setengah jalan menuju Sabang, keduanya lalu menyatakan ingin bergabung dari Bukittinggi. Saya tentu saja menyambut gembira. Gowes sendirian ataupun bareng-bareng selalu ada plus minusnya. Tinggal menyesuaikan diri saja.
Datuk Kuning tinggal di daerah Padangtarok, sekitar 19 km dari Bukittinggi. Rumahnya ini sebenarnya lebih dekat ke Payakumbuh yang berjarak 15 kilometer. Di sebelahnya ada pasar yang buka hanya pada hari Rabu dan hari Sabtu.
Pas saya di situ berlangsung Pakan Rabaa (Pasar Rabu). Tapi suasananya terlihat sepi-sepi saja. Hanya ada beberapa saja pedagang dan pembeli. “Sekarang pasar jadi sepi. Kalah oleh pedagang keliling dan belanja online,” kata Bu Arnida, istri Datuk Kuning.
Bu Arnida sangat semangat ketamuan saya dan Pak Teguh. Pak Teguh datang sehari sebelum saya. Dari tempat tinggalnya di Tangerang beliau naik bus langsung Bukittinggi. Misinya ya bergabung gowes dengan saya hingga ke Sabang.
Selama dua hari menginap di rumah Datuk Kuning ini, Bu Arnida menyuguhi kami berbagai macam makanan. Khas Minang tentunya. Dan repotnya, dia tidak bisa melihat kita makan sedikit. Ditambahinya terus nasi di piring saya. Asli kenyang bin wareg.
Pagi ini sebelum around ke kota Bukittinggi, Bu Arnida memaksa kami sarapan dulu. Hal yang tidak biasa bagi saya, di sini menu sarapan dengan makan siang sebelas dua belas, hampir sama. Kalau tidak nasi, diganti dengan Lontong Padang yang porsinya sama dengan makan siang.
Sekitar jam 10.00 baru kami berangkat. Tidak dengan cara gowes, melainkan dengan naik mobil. Sepeda saya dan sepeda Pak Muslir diatur sedemikian rupa sehingga kami bisa bertiga masuk juga ke dalam mobil. Tujuan kami adalah kota Bukittinggi.
Beberapa kilometer berjalan, ada kemacetan. Cukup lama gak bergerak-gerak. Dari warga setempat dapat info bahwa di depan, di kantor kecamatan, ada karnaval Agustusan. Pak Muslir akhinya balik arah. Mencari jalan pintas. Sebagai warga lokal dia paham jalan-jalan tikus daerah itu.
Masuk-masuk kampung memberi hikmah tersendiri buat saya. Bisa menyaksikan suasana keseharian masyarakat asli Minang. Saya berkesempatan melihat rumah-rumah terbuat dari kayu yang berusia puluhan tahun.
Yang tak kalah keren adalah pemandangannya. Ada satu bagian kami melewati daerah dengan bentangan alam yang sangat terbuka. Dari situ bisa menyaksikan keindahan Gunung Marapi sekaligus Gunung Singgalang. Dua gunung yang sangat populer di Sumatra Barat. Sayangnya pas saya lewat, pemandangan Gunung Singgalang terhalang oleh awan. Gunung Marapi termasuk gunung api yang aktif di Sumatra. Pada 2 Juli lalu, gunung ini erupsi mengeluarkan batu pijar dan material vulkanik.
Tapi, hikmah yang paling keren adalah berjumpa dengan sesama federalist (penggemar sepeda federal). Saat melewati daerah Canduang, dari kejauhan saya melihat ada seseorang sedang bersepeda. Makin dekat makin dekat akhirnya kami menyalip pria itu. Begitu melihat sepedanya Federal juga, kami pun turun dari mobil. Berkenalan.
Pegowes itu adalah Oom Rian. Penggiat sepeda Federal yang tergabung dalam Fed Ragam (Federal Orang Agam). Dari pertemuan di pinggir jalan itu, Oom Rian kemudian mengarahkan kami untuk mengikutinya dari belakang. Kami dibawa ke tempat Haji Alpi, yang rumahnya sering jadi tempat persinggahan para peturing.
Haji Alpi menyambut kami dengan gembira. Beliau ternyata sudah mendengar kabar bahwa ada peturing dari Cimahi yang masuk Bukittinggi. Kami berbincang-bincang di teras rumahnya yang sekaligus difungsikan sebagai toko serba ada.
Dari rumah Haji Alpi, Oom Rian kemudian mengantarkan saya menuju bengkel sepeda. Tak jauh dari rumah Haji Alpi di daerah Hambang Gadang. Pemilik bengkel adalah Oom Abi, yang juga aktif bersepeda saban akhir pekan.
Oom Abi lalu memeriksa sepeda saya. Setelan gear di-setting ulang. Kabel rem yang bagian ujungnya ada yang putus dipotong, dan kemudian dipasangkan lagi. Sepeda saya jadi enakeun. Dan saya percaya diri bisa meneruskan perjalanan touring dengan kondisi sepeda yang lebih baik.
Begitu beres dan saya hendak membayar ongkosnya, Oom Abi kontan menolak. “Salam kenalan saja. Saya sudah senang bisa ikut membantu,” katanya. Sepeda lalu dimasukkan kembali ke dalam mobil Pak Muslir.
Dari daerah Hambang Gadang kami ke kota Bukittinggi. Menembus keramaian Jalan Soekarno-Hatta mampir ke toko sepeda sekaligus bengkel Haji Syafrin. Sepeda milik Pak Muslir mau ditinggikan stangnya.
Saya turunkan sepeda dari mobil. Lalu ngacir gowes sendirian menuju Jalan Perintis Kemerdekaan. Tujuan saya adalah Toko handphone Erafone. Sesuai rencana hari ini saya mau membeli hape baru. Anak-anak sudah mengirim uang supaya saya bisa ganti hape. Saya memilih toko ini karena punya jaringan nasional.
Pulang kembali ke kediaman Pak Muslir di daerah Padangtarok, saya sudah menggenggam hape baru. Saluran komunikasi sudah kembali terhubung.
Tapi masalah yang saya hadapi berbeda lagi. Pas masuk Maghrib, saat kena air mengambil wudhu, tiba-tiba badan saya menggigil. Duh. Mana besok mau gowes jauh lagi.
Rabu, 21 Agustus 2024
Taufik Abriansyah