Day 16: Chicha dan Cek Evi Beri ‘Salam Tempel’ Saat Saya Pamit

Santai653 Views

GITULAH.COMPENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 16

Muara Enim – Prabumulih

Kota Muara Enim memberi kesan tersendiri bagi saya. Maklumlah saya pernah tinggal beberapa tahun di sini saat masih balita. Itulah sebabnya saya memaksa mengingat-ingat lagi masa-masa bocil dulu.

Yang masih saya ingat adalah saya sekolah di TK Pertiwi dan pernah berwisata ke Tanjung Enim. Tinggal di daerah Tungkal, tidak jauh dari rel kereta api. Kalau mandi saya dibawa ke sungai Enim. Kira-kira 500 meter dari rumah.

Saya juga masih ingat sering main dengan teman yang lebih besar ke rel kereta api. Kami menaruh paku di rel biar dilindas kereta api. Paku akan menjadi tipis lalu diberi gagang kayu. Jadilah lading (pisau). Itu semua sekitar tahun 1974. Sebelum saya masuk SD di Palembang.

Pagi ini setelah berkemas-kemas, saya kembali memompa ban sepeda. Kurang angin. Kak Rusdi sudah sibuk dengan hewan peliharaannya di halaman sebelah. Sejak pensiun dari polisi dua tahun lalu, Kak Rusdi mengisi waktu dengan memelihara ayam, angsa, dan burung.

Chicha dengan suaminya datang pagi ini. Dia minta maaf tidak bisa bertemu kemarin sore. Kami lalu bersama-sama sarapan. Selain makan nasi, Cek Evi menyuguhkan menu andalan “Wong Palembang” : pempek.

Saat hendak berangkat, Cek Evi membungkuskan nasi dan kue-kue untuk saya makan di jalan. Bukan itu saja Chicha dan Cek Evi juga memberi salam tempel saat saya berpamitan. Mereka sepertinya khawatir sekali saya kelaparan di jalan.

Sekitar jam 08.00 saya mulai bergerak meninggalkan rumah Cek Evi. Melewati pasar dan perempatan menuju daerah Ledeng, tempat tinggal saya dulu.

Yang bikin saya tersenyum kecut adalah saat melintasi Masjid di Talang Jawa. Waktu masih umur lima tahunan, saya sering ikut membantu-bantu memasang sajadah, atau mengedarkan kencleng. Tapi yang bikin saya tersenyum adalah saya pernah terkencing di salah satu sajadah. Pasti bikin repot orang.

Topik Lain :  Menyusuri Surga Belanja di 'Jalan Pabrik Tepung'

Di Jembatan Enim saya berhenti sebentar. Melihat ke sungai. Lanting-lanting tempat saya mandi dulu sudah tidak ada. Lanting itu juga berfungsi menjadi tempat ibu-ibu mencuci pakaian. Sepertinya warga sekitar sungai sudah pada punya MCK di rumahnya. Air sungai masih keruh seperti dulu.

Tidak jauh dari Jembatan Enim saya belok kiri. Masuk sedikit dari jalan raya, saya singgah di rumah Kak Pihir, salah seorang kerabat yang sering bertemu. Dulu anaknya, Ropi, kuliah di Bandung.

Nama Ropi diabadikan jadi nama toko yang dikelola Kak Pihir dan istrinya, Cek Rosa. Kak Pihir baru saja pensiun dari PNS di Pemda Kabupaten Muara Enim. Saya mampir hanya sebentar saja.

Kembali ke jalan raya, bertemu simpang tiga ke arah Palembang dan ke arah Baturaja. Di simpangan itu ada stasiun kereta api. Saya pernah beberapa kali naik kereta dari stasiun ini.

Setelah menyeberang rel kereta api, di sebelah kiri jalan saya melihat ada Kantor Imigrasi. Wah, keren juga, kalau sudah ada Kantor Imigrasi pasti banyak warga negara asing tinggal di sini.

Saya terus mengayuh. Hari makin panas. Ditambah pula saya gowes ke arah timur. Jadi matahari ada di depan saya. Melewati daerah Gunung Megang, saya melihat ada PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap). Ketemu rel, saya tertahan cukup lama karena yang lewat adalah KA Babaranjang.

Babaranjang adalah kependekan dari Batu Bara Rangkaian Panjang. Sesuai dengan namanya, kereta ini sangat panjang. Dari ujung ke ujung bisa mencapai satu kilometer.

Yang menarik perhatian saya adalah pedagang asongnya. Hampir semua ibu-ibu yang tergolong sepuh. Barang dagangannya antara lain nanas, pisang rebus, dan bongkol.

Menjelang Dzuhur saya melipir ke Masjid Nurul Iman, Desa Tanjung Terang. Tidak salah pilih. Masjid ini sangat bersahabat dengan musafir. Di terasnya ada dispenser air panas dan dingin. Lengkap dengan kopi dan teh.

Topik Lain :  Day 26: Kota/Kabupaten ke-33 yang Saya Lewati Sejak dari Bandung Barat

Saya buka bekel yang tadi disiapkan Cek Evi. Rasanya nikmat sekali. Apalagi ditambah minuman pop ice rasa kacang hijau yang saya beli di depan. Saya sikat habis.

Setelah itu saya langsung bergerak lagi. Kali ini tanpa tidur siang. Masuk daerah Belimbing ada pertigaan ke arah kota Pendopo. Daerah ini juga menandai bahwa saya sedang berada di wilayah Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir).

Entah kenapa kaki saya mulai nyut-nyutan. Saya terpaksa mengayuh lebih pelan supaya nyut-nyutannya tidak makin parah.

Seorang pria yang berdiri dipinggir jalan menghentikan saya.
“Minum dulu,” katanya sambil menyilakan saya masuk ke tokonya. Saya mengangkat tangan, tanda menolak masuk.
“Terima kasih,” kata saya.
Pria itu lalu mengambil sebotol pocari dan langsung diberikan ke saya. Kali ini saya tidak menolak.

Saat melewati Desa Air Talas, Rambang Niru, saya mendengar suara geluduk, tanda akan turun hujan. Beberapa saat kemudian saya merasakan ada titik-titik air hujan yang jatuh. Saya lanjut saja mengayuh sambil memperhatikan mobil yang datang dari arah berlawanan.

Saya lihat kacanya masih pada kering. Artinya di arah depan belum turun hujan. Tapi bagaimanapun saya senang juga kalau turun hujan. Sebab sudah dua minggu perjalanan ini saya selalu dapat panas terik matahari.

Sekitar jam 15.30 saya masuk gerbang tanda batas kota Prabumulih.  Alhamdulillah hari masih terang.

Tapi, ternyata jarak menuju pusat kota masih sekitar 15 km lagi. Mana masih banyak pula tanjakan. Yang mengesankan, saya melihat ada pedagang pinggir jalan yang jualannya sungguh tidak biasa. Yaitu tas dan stik golf. Sepanjang saya melanglang berbagai kota di Nusantara, baru kali ini saya melihat alat permainan golf dijajakan di pinggir jalan.

Tidak jauh dari pedagang bermobil itu ada pertigaan dengan tugu nenas. Pertigaan ini adalah akses ke jalan tol Palembang. Sedangkan nenas adalah komoditi penting dari Prabumulih.