Day 14: Akhirnya Sampai Juga di Semendo, Daerah Asal Nenek Moyang Saya

Santai336 Views

GITULAH.COM PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 14
Baturaja – Semendo

Kemarin sewaktu masuk kota Baturaja saya sempat mencuci pakaian kotor di laundry. Karena gowes tiap hari, saya tidak punya waktu untuk mencuci sendiri.

Keren. Kurang dari dua jam setumpuk pakaian kotor yang sudah dipakai lima hari ini sudah bersih kembali. Dan tentu saja wangi. Oom Slamet, adiknya Pak Asnawi (tetangga di rumah saya) yang mengantar saya bermotor ke tempat binatu itu. Yang bikin saya terheran-heran, banyak sekali pengendara motor di Baturaja tak memakai helm. Padahal berada di jalanan pusat kota.

Berangkat pagi ini dari Baturaja semua pakaian saya dalam keadaan bersih. Saat berpamitan, Oom Slamet dan istrinya membekali saya dengan minuman penyegar dan roti tawar. Istrinya Oom Slamet ini berasal dari Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Alhasil saat berbincang-bincang, kami menggunakan bahasa Sunda.

Seperti sudah jadi kebiasaan, sekitar jam 08.00 saya meninggalkan kota yang saya singgahi. Begitu juga di Baturaja ini. Yang menguntungkan adalah jalan yang saya lalui sudah langsung mengarah ke Simpang Meo, yang jadi target finish saya hari ini.

Simpang Meo adalah kampung kecil yang terletak di jalan raya lintas tengah Sumatra antara kota Baturaja dan kota Muara Enim. Di Simpang Meo ada jalan provinsi menuju Semendo, daerah asal nenek moyang saya. Jalan ini menjadi jalan alternatif menuju kota Lahat atau Pagaralam.

Jarak dari Baturaja ke Simpang Meo ada sekitar 50 km. Sementara dari Simpang Meo ke Desa Pulau Panggung Semendo, yang jadi tujuan saya, masih sekitar 33 km lagi. Jadi perkiraan jarak yang akan saya tempuh hari ini sekitar 80 km.

Di dekat belokan ke Pabrik Semen Baturaja, saya disapa seorang polisi yang sedang berjaga di jalan.

“Dari mana, pak?”
“Bandung,”
“Oey jauhnyo, pak,” katanya.

Beberapa meter kemudian di sebelah kanan jalan, saya melihat ada bangunan yang sangat luas. Yaitu Pasar Induk Baturaja. Namun yang mengherankan saya, keadaannya sangat kosong. Hanya ada satu dua orang saja yang tampak. Padahal ini pasar induk. Setelah pasar ada kantor Polres OKU (Ogan Komering Ulu).

Topik Lain :  Tabik Pun! Salam Khas Masyarakat Lampung

Di tanjakan setelah pasar, saya melihat ada seorang pria sedang mencegat kendaraan yang lewat. Sepertinya dia sedang berusaha menumpang. Setelah dekat, saya baru menyadari pria ini pernah saya lihat di bawah Jembatan Ampera, Februari lalu. Saya masih ingat, karena pria ini meminta-minta dan akhirnya membuat jengkel orang-orang. Maklumlah badannya terlihat sangat sehat. Tidak pantas menjadi seorang pengemis.

Jalur jalan antara Baturaja ini terasa banyak sekali belokan dan naik turun. Banyak pula truk besar dan bus besar. Beberapa kali saya disalip atau berpapasan dengan bus ALS (Antar Lintas Sumatera).

Lalu setelah ketemu Sungai Ogan di sebelah kiri jalan, saya melihat banyak sekali konter bertulisan ATM berukuran besar. Saya kira ada banyak mesin ATM di situ. Ternyata adalah jaringan BRI Link.

Setelah itu saya tiba di Desa Singapura. Nama desa ini unik, karena seperti nama negara tetangga. Di depan satu sekolah dasar, saya melihat kumpulan emak-emak bermotor listrik sedang menunggu anaknya. Pemandangan yang cukup keren.

Hari makin panas. Sekitar jam 10.30 saya mampir di masjid Al Ihsan, Desa Ulak Pandan, Kecamatan Semidang Aji. Bersamaan saya, masuk pula seorang bocah yang baru pulang sekolah. Di teras masjid saya beristirahat sambil menikmati roti yang tadi dibekali Oom Slamet. Bocah perempuan tadi mendekati saya. Ternyata dia baru kelas 1 SD. Ibunya sedang bertugas membersihkan masjid. Dia lalu duduk manis di dekat saya. Ikut makan roti yang saya bagi.

Setelah itu saya mengayuh lagi. Di Desa Padang Bindu, ada objek wisata Goa Putri. Goa Putri yang terletak di Bukit Barisan di Desa Padang Bindu ini memiliki panjang 159 meter, lebar 8 hingga 20 meter, dengan ketinggian mencapai 20 meter. Di dalamnya mengalir Sungai Semuhun, anak Sungai Ogan, yang mengalir dari arah barat ke timur.

Di pertigaan jalan keluar mobil truk yang tulisan di bak belakangnya cukup menyita perhatian saya: “Tambahlah Kenangan Manis Hidup Anda”. Cocok! Gowes ribuan kilometer saya kali ini sudah pasti akan menambah kenangan manis.

Sekitar jam 14.30 saya tiba di Simpang Meo. Masih seperti dulu. Di belakang deretan warung ada Sungai Meo dengan batu-batu besar. Saya merapat di Masjid At Tawwabin untuk istirahat. Sekaligus mengontak Kak Meri, saudara yang akan saya temui di Semendo.

Saat itulah saya baru menyadari hape saya tidak aktif gara-gara terlambat membayar iuran. Saat itu juga saya baru menyadari bulan sudah berubah ke bulan Agustus. Asli lupa. Perlu waktu sekitar setengah jam, hape saya baru bisa aktif lagi. Tentu setelah iurannya dibayar.

Topik Lain :  10 Buah yang Menyehatkan Lansia

Saat menghubungi Kak Meri, dia bersikeras supaya saya meneruskan perjalanan dengan naik taksi saja.
“Jalan ke dusun banyak tebingnya. Kau pasti kemalaman,” katanya. Dia menunjukkan cara agar saya bisa naik taksi ke kampung. Yang dimaksud taksi di sini adalah angkot kalau di Bandung.

Saya mulai menimbang-nimbang. Khawatir juga kalau sampai kemalaman di jalan. Rute yang akan saya lalui lebih banyak hutan ketimbang pemukiman. Akhirnya saya putuskan naik taksi, mengikuti petunjuk Kak Meri. Saya bergeser sekitar 300 meter dari masjid ke tempat taksi ngetem. Nasib baik, masih ada taksi terakhir yang masih menunggu penumpang.

Taksi yang saya tumpangi adalah mobil L300 yang dimodifikasi bisa mengangkut penumpang dan barang. Pannier dilepas. Sepeda diikat di bagian belakang taksi.

Saya duduk berhadapan dengan seorang pria yang usianya sepantaran saya. Sepanjang perjalanan dari Simpang Meo hingga Pulau Panggung, kami berbincang-bincang. Namanya Halimi, pejuang konservasi.

Sekitar jam 17.00 taksi yang saya tumpangi masuk Desa Pulau Panggung. Saya diturunkan di depan rumah Kak Meri. Disambut anaknya, Heni. Kak Meri nya malah ada di Muara Enim. Saat Heni mengenalkan anaknya, saya baru menyadari bahwa saya sudah tidak muda lagi. Lantaran saya dipanggil Yai (kakek). Duh.

Setelah menyimpan barang-barang, saya lalu “jalan-jalan sore”. Mengenang masa-masa kecil saat berkunjung ke Semendo. Masa kecil banget.

Dari rumah Kak Meri saya bergerak ke arah pertigaan yang disebut pasar. Setelah itu ada Masjid Akbar. Sekitar satu kilometer saya berhenti di Jembatan Air Meo. Dulu waktu masih bocah, tiap kali ke Semendo saya pasti dibawa ke sungai ini untuk mandi. Airnya sangat dingin.

Meski sudah melepas pannier, ada sepeda dengan bendera-bendera melintasi jalanan Semendo bukanlah pemandangan biasa. Karuan saja saya jadi perhatian.

Saat berhenti di Masjid Akbar, saya langsung dikerubuti anak-anak.
“Dari mane, mang?,” tanya mereka.
Saya senang karena masih dipanggil mamang (paman). Bukan yai. Mereka lalu menanya ini-itu

Semendo tentu saja sudah jauh lebih ramai. Ada warung kopi tempat nangkring bak perkotaan, ada penginapan, ada kantor Bank, dan ada bakso Wonogiri.

Tapi dua brand mini market yang punya jaringan di mana-mana itu tidak kelihatan. Untuk hal ini, Semendo masih bertahan.

Kamis, 1 Agusus 2024

Taufik Abriansyah