Day 9: Jalan Membelah Kebun Karet PTPN 7 Sekitar 5 Km

Santai584 Views

GITULAH.COM — PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 9
Bandar Lampung – Metro

Seperti kemarin, jarak yang akan saya tempuh hari ini pendek saja. Hanya sekitar 40 kilometer. Hari ini saya akan melanjutkan perjalanan ke kota Metro.

Di Metro ada mamang, sepupunya ibu yang akan saya sambangi. Mang Syukri. Dulu waktu kecil saya sering bertemu beliau. Tapi karena beda tempat tinggal dan kesibukan masing-masing, ada barang kali sekitar 30 tahunan lalu terakhir bertemu beliau.

Dalam touring kali ini saya ingin sekaligus menyambangi sanak keluarga yang lama sekali tidak bertemu. Maka rute saya agak berbelok-belok dan tidak lazim untuk peturing dengan tujuan Sabang KM 0.

Pagi ini saya mulai dengan menikmati kopi plus kue pia kacang ijo. Selepas Shalat Subuh, Pak Nur keluar untuk olah raga jalan kaki yang rutin dilakukannya. Dia sempat mengajak saya ikut jalan biar sekalian menelusuri lingkungan itu. Tapi saya memilih ditinggal saja. Saya harus menghemat tenaga dan sekalian mengemasi barang.

Sewaktu membuka pintu rumah, Pak Nur dikejutkan oleh bungkusan kantong kresek yang dicantolkan di gagang pintu. Rupanya bungkusan itu berisi pakaian saya, dari laundry yang ada di samping rumah Pak Nur.

Kemarin sore saya sempat ke laundry itu untuk mencuci beberapa pakaian yang sudah saya pakai. Dengan perjanjian harus sudah beres sebelum jam 07.00.

Begitu Pak Nur pergi, saya tertidur lagi. Bangun-bangun sekitar jam 07.00 saat pak Nur datang lagi. Saya segera mandi dan bersiap untuk memulai ettape hari ini.

Menjelang jam 08.00 saya kembali memasang pannier dan meletakkan kembali aksesori sepeda pada tempatnya. Salah satu aksesori penting yang tiap hari dicopot dan dipasang adalah speedometer. Barang ini cukup penting bagi saya untuk memperkirakan waktu tempuh di setiap ettape.

Topik Lain :  Mencicipi Uniknya Khlong Hae Floating Market

Setelah menambah angin ban, saya meninggalkan kontrakan Pak Nur. Seperti biasa, kami foto-foto dulu.

“Terima kasih pak sudah mampir. Walau kita tidak lagi bertetangga, silaturahmi kita masih nyambung terus,” kata Pak Nur.

Dari rumah Pak Nur di Gang Bungsu itu saya tinggal meluncur ke Jalan Sam Ratulangi dan tembus ke jalan raya Rajabasa. Di bawah fly over yang ada Pos Polisi MBK saya belok kanan. MBK merupakan singkatan dari Mall Bumi Kedaton.

Teman-teman federalist di Lampung, antara lain Oom Daeng Slamet, Oom Yudhi, menyarankan saya menempuh rute jalur dalam menuju Metro. Selisihnya sekitar 20 km dari jalur jalan nasional. Arus lalu lintasnya juga lebih sepi. Saya tentu saja setuju.

Dari simpangan MBK itu saya jalan lurus hingga dapat daerah Korpri. Belok kiri. Tinggal mengikuti jalan itu sampai deh di Metro. Kontur jalannya cenderung datar. Cuaca juga cukup bersahabat. Di sekitar daerah Way Hui saya melihat ada gerobak pedagang lupis. Cukup menggoda. Tapi pedagangnya malah tidak ada. Ya sudah, belum rezeki.

Melewati Pasar Jatimulyo ketemu jembatan layang jalan tol. Di situ ada pedagang lontong sayur. Saya berhenti, sarapan dulu. Di sepanjang jalur ini banyak sekali pedagang lontong sayur.

Setelah melewati daerah Karang Anyar saya masuk ke area kebun karet milik PTPN 7. Suasananya mengingatkan saya pada masa kecil di Kenten yang juga banyak pohon karet. Batang para, begitu dulu kami menyebutnya.

Jalan membelah kebun karet ini ada sekitar 5 km. Yang paling terasa buat saya adalah material jalannya. Jalan yang tadi berupa beton, disini berubah menjadi jalan aspal. Sayang banyak bungkusan keresek sampah. Sepertinya warga sekitar menjadikan tempat ini sebagai tempat pembuangan sampah.

Topik Lain :  Mendapat Titipan Zakat

Saya mengayuh dengan santai. Selain jalurnya enak, cuacanya juga tidak terlalu panas. Menjelang waktu Dzuhur saya sudah masuk kota Metro. Saya langsung menuju Masjid Taqwa, masjid agungnya.

Masjidnya besar dan megah. Sayangnya ada tulisan *”Dilarang Tidur di Masjid”.* Lepas Shalat Dzuhur saya jalan-jalan sebentar di sekitar masjid. Ada Taman Merdeka dan Pasar Shopping Metro.

Di warung pecel saya mampir untuk makan siang. Pecel plus nasi Rp 12.000. Rasanya biasa saja seperti pecel kebanyakan. Yang istimewa adalah percakapan si ibu pecel dengan pedagang kios di sebelahnya.

Mereka sedang memperbincangkan soal vonis bebas Pengadilan Negeri Surabaya terhadap seorang terdakwa. “Masak pertimbangan hakim membebaskannya hanya karena dia mengantarkan korban ke rumah sakit,” kata si ibu pecel yang tertangkap telinga saya. Wah, dialog yang sungguh berat.

Setelah mengisi perut, saya kembali ke masjid. Meneruskan catatan saya, dan ngagoler. Akhirnya saya tertidur. Saya cuek saja dengan tulisan dilarang tidur itu. Selain karena banyak juga jamaah yang tiduran, hawa dingin AC sangat kontras dengan panas di luar. Saya di Masjid Taqwa sampai selesai Ashar. Setelah itu baru menuju rumah Mang Syukri di Jalan Nangka.

Beliau ternyata tidak ada di tempat. Mendadak harus berangkat ke Sumatra Utara, kampung istrinya. Mang Syukri memberi amanat kepada anaknya, Badruzaman, untuk menerima saya.

Badruz menyambut kedatangan saya dengan ramah. Meski baru kenal saat itu, kami langsung berbincang dengan hangat. Badruz rupanya pernah nyantri di pesantren yang ada di Eretan Indramayu.

Saya disiapkan kamar tamu yang terasa mewah untuk federalist peturing. Kamarnya ber-AC dengan kamar mandi di dalam.

Bukan itu saja. Badruz juga sudah menyediakan sepiring pempek dan martabak kari khas Palembang. Keduanya adalah makanan kesukaan saya. Tanpa banyak basa-basi saya sikat keduanya. Tak bersisa.

Sabtu,27 Juli 2024
Taufik Abriansyah