Day 27: Perjalanan yang Bisa Menginspirasi Orang Lain

Santai546 Views

GITULAH.COMPENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 27

Muara Tembesi – Sungai Bengkal

Pagi ini saya baru menyadari hape saya bermasalah. Hape saya tidak bisa menangkap sinyal paket data. Hanya bisa wifi.

Tadi malam saat makan di warung yang ada di seberang penginapan, hape saya tidak ada internetnya. Lalu saat kembali ke kamar yang ada wifinya, hape saya kembali aktif.  Mudah-mudahan karena daerah sini kesulitan  menangkap sinyal. Pikir saya.

Setelah beres ngopi dengan sebungkus roti, sekitar jam 07.00-an saya berangkat. Penghuni lain, yang kebanyakan mobil-mobil sales masih pada tidur.

Suasana kota Muara  Tembesi sedang menggeliat. Emak-emak bermotor berseliweran mengantarkan anaknya. Warung-warung sarapan dipenuhi pembeli. Cuaca sangat bersahabat. Karena saya menuju ke arah barat, maka matahari ada di belakang kepala. Redup pula.

Baru sekitar 20 menit mengayuh, di daerah Rantau Kapas Mudo saya dikejutkan suara motor di samping saya. “Ini bang, untuk sarapan,”. Saya perhatikan sekilas ternyata bubur kacang hijau diwadahi gelas plastik.
Saya lepaskan tangan kanan dari stang dan menerima uluran bungkusan itu.

“Alhamdulillah. Terima kasih. Berkah bang,” kata saya.
“Aamiin, hati-hati di jalan,” katanya sambil bergegas meninggalkan saya.

Dari tampilan motornya, tampaknya dia memang pedagang burjo keliling.

Nama kota Kecamatan Muara Tembesi ini karena kota ini merupakan pertemuan dua sungai besar di Jambi. Yaitu Sungai Batanghari dan Sungai Tembesi.

Dalam rute hari ini saya beberapa kali lewat di jalan persis di samping Sungai Batanghari.  Saya melihat di tengah sungai ada rakit yang berdiri statis seperti tampak sedang mengeksplor sesuatu.

Saya dapat info bahwa mereka sedang menggali emas. Warga lokal menyebutnya sebagai dompeng. Melihat banyaknya rakit-rakit seperti itu di sepanjang sungai, boleh jadi daerah ini memang ada emasnya.

Di sungai ada dompeng, di kebun ada sawit. Berkilo-kilometer jalan yang saya lalui berisi kebun sawit. Kadang-kadang ada juga semak belukar. Saat melintasi kampung yang kebetulan ada warga sedang berkumpul saya disoraki dan diberi tepuk tangan. Yang seperti ini sungguh memberi semangat. Di depan SD Sungai Pulai, saya sempat ge-er. Tiba-tiba suara sirine meraung saat saya melintas. Anak-anak yang ada di halaman melihat saya berteriak mengeluk-elukan. “Se – ma – ngat, se – ma – ngat…,”.

Wah, keren juga cara mereka menyemangati saya. Pikir saya dalam hati. Sambil melempar senyum dan dadah-dadah, saya lanjut mengayuh.

Topik Lain :  Tabik Pun! Salam Khas Masyarakat Lampung

Masuk ke kawasan hutan lagi saya melihat banyak tulisan TBS. Kira-kira apa artinya saya belum mengerti. Ini PR untuk saya tanya ke warga lokal.

Lantaran hape tidak berfungsi, saya tidak bisa langsung mencari jawabannya di google. Selain itu yang bikin tidak leluasa, saya tidak bisa ngecek di mana kampung terdekat dan masjid terdekat.

Tapi tak apalah, kita nikmati saja. Toh dulu sebelum zaman ada hape dan internet saya juga bisa sampai ke mana-mana.

Mendekati Dzuhur setelah melewati kontur jalan yang naik turun di tengah kebun sawit, di daerah Sungai Rengas saya menemukan warung. Alhamdulillah, ada musholahnya dan yang paling penting adalah ada nasinya.

Di dalam warung ada seorang pria yang baru saja menyelesaikan makan.
“Cuma ada nasi gemuk, pak,” kata gadis penjaga warung.

Ya sudah tidak apa-apa.” Saya sudah lapar, nasi gemuk juga cocok dengan selera saya. Lagi pula saya tidak tahu berapa kilometer lagi akan ketemu warung. Saya duduk di meja panjang bersama pria tadi. “Dari Bandung,” kata saya.

“Wah, baru dua bulan lalu saya ke Bandung, naik Kereta Whoosh,” katanya. Dia lalu bercerita panjang lebar.

Saya mendengarkan sambil makan. Saya makan dengan lahap. Pria tadi bercerita kemajuan bangsa di bawah Jokowi.

“Iya betul banyak hal kemajuan. Tapi sekarang beliau membawa sistem politik kita menjadi mundur lagi,” komentar saya.

Pria itu lalu pamit pergi karena mau ngurus kebunnya lagi. Tinggal saya sendirian di warung di daerah sesepi itu. Kepala saya nyender di dinding. Dan akhirnya saya tekeliep alias tidur.
Meski hanya beberapa menit, kepala rasanya segar pisan.

Saya lalu minta izin ke pemilik warung untuk shalat di tempat itu. Usai shalat, saat berkemas-kemas mau berangkat lagi, si ibu pemilik warung mendekati saya mengajak berbincang.
“Masih panas pak, istirahat saja dulu,” katanya sambil menunjuk bale yang ada di dekat situ. Kebanyakan warung di lintas seperti ini menyediakan bale yang bisa digunakan para sopir beristirahat.

Perempuan bernama Mbak Ning, sesuai dengan nama warungnya, berumur 40-an tahun ini mengaku aslinya dari Klaten Jawa Tengah. Tapi sejak kecil sudah dibawa orang tua hijrah ke Jambi. Selain punya warung makan, dia juga punya kebun sawit. “Suami saya petani pak,” katanya.

Dia bercerita harga kebun sawit di daerah itu berkisar Rp 100 juta per hektar. Dan bisa dipanen setiap dua minggu sekali. “Alhamdulillah pak, saya bisa menyekolahkan anak saya sampai jadi bidan,” katanya.

Topik Lain :  Day 10: Dari Mulut Gang Tiba-Tiba Emak-Emak Bermotor Nyelonong

Dari Mbak Ning saya jadi tahu TBS adalah singkatan dari tandon buah sawit. Jadi buah sawit yang dipanen dalam bentuk tandonan, bukan dalam bentuk buah satuan.

Setelah cukup istirahat saya melaju lagi. Seperti tadi, suasana jalan lebih banyak sepinya. Kiri kanan jalan kebanyakan kebun sawit atau ladang petani. Ada juga satu dua bagian berupa semak belukar.

Sekitar Ashar saya masuk kota Kecamatan Sungai Bengkal. Kota yang cukup ramai. Saya melipir Ke Masjid Jami Nurul Jalal untuk Shalat Ashar.

Menariknya, masjid ini sangat ramah musafir. Di samping kiri masjid ada bangunan berupa petak-petak yang digunakan sebagai tempat istirahat musafir. Ada petak laki-laki, ada petak khusus perempuan.

Sebenarnya saya bisa saja beristirahat di sini. Tapi hari masih siang. Lagi pula saya butuh wifi supaya hape saya bisa kembali berkomunikasi. Dari tukang ojek di depan masjid saya dapat info ada penginapan tidak jauh dari situ.

Sebenarnya masih ada waktu satu dua jam lagi untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum hari gelap. Tapi kota besar berikutnya yang akan saya tuju adalah Muara Tebo. Jaraknya sekitar 70 km lagi. Sedangkan hari ini jarak yang sudah saya tempuh sekitar 74 km.

Saya lalu menuju penginapan itu. Harganya lumayan bersahabat, Rp 130.000 untuk kamar dengan kipas angin. Kamarnya bersih, dapat minuman, dan handuk.

Saat memasukkan barang ke dalam kamar, seorang tamu hotel yang sedang kongkow di serambi hotel menegur saya.

“Dari jauh bang, mau terus ke mana?,” tanyanya.
Saya jawab : “Dari Bandung mau ke Aceh,”. Mereka terkaget-kaget.

Setelah berbincang-bincang sejenak, dia lalu memberi bungkusan berupa Sate Padang untuk saya bawa masuk ke kamar. “Abang musafir, terimalah bang,” katanya.

Di dalam kamar saya sikat itu sate. Lalu mandi. Lantas selonjoran menunggu Maghrib.

Saat itulah saya mendapat tel3pon dari teman yang tinggal di Pulau Sapudi, Madura. Sebuah pulau yang terletak di sebelah timur dari Pulau Madura, secara administratif, Pulau Sapudi masuk Kabupaten Sumenep. Namanya Pak Ikbal. Rupanya dia mengabarkan ingin bersepeda touring juga seperti saya. “Melihat status sampeyan, saya kepingin melakukannya juga,” kata Pak Ikbal.

Dia merencanakan akan melakukan touring seperti saya dengan target mengunjungi makam-makam Wali Songo.

Pak Ikbal bertanya mendetail apa saja yang harus dipersiapkan. Celakanya dia belum punya apa-apa. Jangankan jersey atau aksesori yang mendukung kelancaran touring, sepeda pun dia belum punya. Wah.

Tapi di satu sisi saya merasa terharu. Bahwa perjalanan yang saya lakukan ini bisa menginspirasi orang lain.

Rabu, 14 Agustus 2024

Taufik Abriansyah