Day 22: Selamat Datang Bumi Serasan Sekate

Santai517 Views

GITULAH.COM PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 22
Betung – Simpang Gas (Musi Banyuasin)

Setelah empat hari memulai hari dengan kopi yang siap minum, pagi ini kembali saya harus menyiapkan kopi sendiri. Saya memang punya kebiasaan harus minum kopi. Jika tidak sarapan saya kuat, tapi kalau tidak ngopi, saya bisa teler.

Maka kompor kecil yang saya bawa dalam touring menjadi barang yang sangat berguna. Untuk ngopi ke warung, kadang harus menunggu hari siang dulu. Sementara dengan memasak air sendiri, saya sudah bisa minum kopi selepas shalat Subuh.

Sekitar jam 08.00 saya mulai memasang pannier di sepeda. Saat saya periksa ban sepeda tidak benar-benar gembos. Hmm, syukurlah hanya kurang angin. Pikir saya.

Tapi, saat melihat ada bengkel motor yang sudah buka di depan penginapan, tak urung saya mengarahkan sepeda ke sana. Mending diperiksa dulu. Atau supaya lebih aman, lebih bagus sekalian ban dalam diganti saja. Saya membawa ban dalam cadangan.

Anak bengkel yang sedang beberes kebingungan melihat saya membawa sepeda ke situ. “Saya minta tolong ganti ban dalamnya,” kata saya. Dia tambah kebingungan.

“Saya belum pernah membongkar ban sepeda, mang,” katanya pelan. Rupanya remaja ini anak SMK Otomotif yang sedang PKL.

“Kalem, kita bongkar bareng-bareng,” kata saya.

Untungnya, saat mencopot gembolan, mekanik asli bengkel itu datang. Saya jelaskan masalahnya. Untungnya lagi dia mengerti cara membongkar dan memasang ban sepeda. Dan ternyata benar ban dalamnya bocor. Ban sepeda saya kemudian diganti dengan ban cadangan, sementara yang bocor ditambalnya. Beres.

Saat mau membayar ongkos tambal ban itu, sang mekanik menolak.
Dak apo-apo mang, dak usah bayar,” katanya. Mungkin karena dia melihat saya datang dari jauh.

Kali ini saya bersikeras membayar karena sudah merasa sangat dibantu. Kebayang kalau saya tidak mengganti ban itu nanti bakalan repot. Akhirnya saya tinggalkan uang Rp 20 ribu dan mendorong sepeda meninggalkan bengkel. Saya anggap saja sebagai ongkos ganti ban motor.

Topik Lain :  Terbukti, Inilah 10 Makanan Pelawan Kanker yang Harus Anda Konsumsi

Saya mulai mengayuh. Meninggalkan keramaian kota Betung. Kembali berhadapan dengan kontur jalan yang bergelombang. Sekitar 6 kilometer dari Betung, saya bertemu dengan SPN (Sekolah Polisi Negara) Polda Sumsel. Saya berhenti sejenak untuk ambil foto.

Di kiri kanan jalan saya melihat bangunan-bangunan sarang burung walet. Sesekali terdengar juga gemericit suara burung walet.

Beberapa kilometer kemudian bertemu dengan gapura tanda masuk wilayah Kabupaten Musi Bayuasin. Tadi Banyuasin sekarang Musi Banyuasin. “Selamat Datang Bumi Serasan Sekate”, begitu kata-kata yang tertulis di gapura. (artinya seiya sekata)

Lalu masuk daerah Kecamatan Babat Supat. Setelah beberapa kilometer melewati kebun sawit, saya melihat antrean truk. Rupanya truk-truk ini mau mengisi bahan bakar di SPBU yang kemarin saya incar jadi tempat menginap. Jaraknya ternyata masih 28 kilometer dari Betung.

Saya masuk ke SPBU itu. Sesuai dugaan saya, fasilitasnya cukup lengkap. Ada mini market, tempat makan, dan masjid. Persis seperti rest area di jalan tol di Jawa.

Cuaca cukup bersahabat. Tidak terlalu panas, tidak juga mendung. Jalan masih bergelombang naik turun. Berbeda dengan sebelum masuk Betung, kini sudah banyak bahu jalan yang sudah diaspal beton.

Sesekali saya masuk ke bahu jalan supaya lebih aman dari sambaran bus atau truk yang menyalip. Yang bikin repot adalah saat melewati tempat-tempat penggalangan dana. Kalau pas di tempat itu ada kendaraan yang mau nyalip, situasi jadi lebih berbahaya.

Melewat KM 101 dari kota Palembang ketemu Rumah Makan Pagi Sore. Jalan mulai rata. Tidak lagi bergelombang. Masuk kota kecamatan Sungai Lilin, saya disambut gerimis kecil. Lantaran masih kecil, belum terlalu basah, saya lanjut saja mengayuh. Dan benar saja hujannya berhenti.

Kota Sungai Lilin cukup ramai. Apalagi saat melewati pasar. Yang menarik perhatian saya, ada dua masjid besar saya lalui saat melintasi kota ini. Yang satu Masjid Agung Al Hilal di dekat pasar, dan Masjid Raya Darussalam, sekitar satu kilometer kemudian.

Topik Lain :  Day 38: Hari Masih Terang Waktu Kami Masuk Kota Sibolga

Selepas Sungai Lilin saya berhenti di warung makan yang menyediakan pindang tulang. Hari ini hari jumat, saya memilih makan siang dulu sebelum mencari masjid untuk jumatan.

Pindang tulang nya maknyus. Sesuai dengan harganya : Rp 45 ribu per porsi. Ini agaknya menjadi rekor makan siang termahal dalam touring ini.

Mengejar waktu jumatan, saya segera beranjak dari warung makan itu. Dan berhenti di Masjid Al Mukhlisin beberapa kilometer dari batas kota.

Masjidnya ada di lantai atas. Sementara di lantai bawah adalah ruko-ruko dalam keadaan terkunci. Entah mengapa, saya kepikiran menyimpan sepeda di teras ruko yang kosong. Bukan di tempat parkir motor di depan tangga.

Yang menarik, sebelum menyampaikan khutbah, khatib mengajak jamaah untuk sama-sama membacakan surat Al Fatihah. Mengirimkannya kepada para pejuang Palestina. “Kita hanya bisa membantu dengan doa,”kata sang khatib terbata-bata.

Saat halat Jumat sedang berlangsung, tiba-tiba turun hujan. Cukup deras. Suaranya bergemuruh mengalahkan suara imam. Saya lega. Untung sepeda tadi saya letakkan di teras, jadi terlindung dari siraman air hujan.

Lepas jumatan saya tidur-tiduran. Ada yang membagi-bagikan bungkusan nasi jumat berkah. Nasi Padang. Saya tidak kebagian. Tapi tak apa, perut saya juga sudah kenyang.

Sekitar jam 14.00 saat hujan sudah berhenti, saya bergerak lagi. Tantangan saya kali ini adalah cipratan air dari bus atau truk yang menyalip. Apalagi kalau pas melewati kubangan bekas hujan tadi.

Di Desa Peninggalan saya sempat berhenti. Beristirahat sekaligus shalat Ashar. Sekitar jam 17.00 masuk daerah Simpang Gas. Saya periksa speedometer ternyata saya sudah gowes 93 km dari Betung. Lumayan juga.

Sebelum hari benar-benar gelap, saya melihat ada penginapan. Saya mampir dan tanya harganya. Setelah memasang muka kecapekan sebagai goweser jarak jauh, si ibu pemilik penginapan memberi harga Rp 100 ribu untuk kamar dengan kipas angin, dari harga seharusnya Rp 150 ribu. Lumayan lah.

Jumat, 9 Agustus 2024

Taufik Abriansyah