GITULAH.COM — Day 50 [Ambon-Merauke]
Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.
KM Tatamailau yang akan membawa saya dari Ambon ke Merauke meleset jauh dari jadwal. Menurut jadwal yang tertera di tiket, kapal berangkat jam 23.00 tadi malam. Namun, kapalnya sendiri baru datang jam 23.30.
Suasana ruang tunggu Pelabuhan Yos Sudarso penuh sesak. Orang-orang tidur bergeletakan. Kebanyakan mereka dalam rombongan keluarga. Masing-masing dengan barang bawaan lumayan banyak. Hanya beberapa orang saja yang terlihat bepergian sendirian.
Buruh angkut pelabuhan wara-wiri menawarkan jasa. Mereka mengenakan kaos berseragam warna coklat. Tenaga buruh ini sangatlah kuat. Dengan menggunakan tali, mereka bisa mengangkat beberapa tas dan kardus sekaligus.
Sekitar jam 00.30 penumpaag mulai diarahkan masuk ke kapal. Saya dorong sepeda perlahan. Dalam suasana penuh sesak, saya khawatir sepeda mengganggu kenyananan penumpang lain.
Tiba di dernaga, saya tak buru-buru naik tangga. Ngobrol dulu dengan tiga pegawai PELNI yang sedang bertugas. “Dari mana dan mau lanjut ke mana Oom,” sapa salah seorang dari mereka.
Saya jelaskan saya dari Bandung, sedang bersepeda keliling Indonesia. Saya sudah dari Sabang dan sekarang sedang menuju Merauke.
Salah satu dari mereka ternyata goweser juga. Dan sudah pernah beberapa kali bertemu peturing seperti saya. “Alhamdulillah, malam ini ketemu dengan bapak,” katanya. Kami lalu berbincang-bincang sambil memperhatikan penumpang yang sedang masuk kapal.
Sekilas saya perhatikan penumpang diarahkan naik melalui tangga Dek 3. Sedangkan, penumpang turun melalui tanggga Dek 5. Feeling saya mengatakan situasi ini akan menyulitkan, karena di Dek 3 berarti langsung masuk ke area penumpang. Tidak ada gagang kayu seperti Dek 5.
Saya titipkan sepeda kepada tiga awak PELNI itu. Saya bawa pannier masuk lapal naik dari Dek 3. Benar saja suasananya pebuh sesak. Tidak ada tempat buat saya nenyimpan sepeda.
Sampai di nomor tempat tidur, saya kaget tempat tidur saya sudah ditempati seorang ibu yang non-seat. Dia berharap saya bersedia memberinya tempat tersebut. Wah, lima enam hari di atas kapal tanpa tempat tidur, tentu akan menyiksa. Saya keberatan.
Melihat saya tidak mau melepas tempat tidur saya, penumpang yang ada di sebelahnya langsung berkata. “Sudah Oom di sini saja. Biar nanti saya punya anak , tidur di tengah,” katanya.
Rupanya ibu ini bepergian bertiga dengan adik sepupu dan anaknya yang baru berumur delapan tahun. Saya letakkan pannier, lalu bergegas turun lagi untuk mengangkat sepeda.
Saat akan mengangkat sepeda, saya jelaskan kepada petugas PELNI dan tentara yang berjaga bahwa kalau diletakkan di Dek 3, sepeda saya akan mengganggu kenyamanan penumpang lain. Sebaiknya di Dek 5 saja, karena bisa diletakkan di pinggiran kapal.
Mereka setuju. Saya diizinkan naik ke Dek 5. Cepat-cepat saya gotong sepeda, dan simpan di tempat yang tidak mengganggu penumpang lain. Setelah beres, saya turun lagi ke Dek 3, Tempat tidur sesuai nomor yang saya miliki.
Saya bereskan barang bawaan. Pannier saya simpan di tempat bagasi (ada di atas tempat tidur), godibag yang berisi bekal makanan dan minuman saya letakkan di atas kepala. Senentara dompet dan HP melekat di dalam tas pinggang.
Sekitar jam 02.00 kapal mulai berangkat. Saya tidak tertarik berdiri di dek memperhatikan kapal keluar pelabuhan karena hari sudah malam. Sudah gelap. Lagi pula saya sudah mengantuk. Saya memilih segera tidur saja.
Saya terbangun saat mendengar suara azan subuh. Saat itulah saya baru menyadari saya tidur di antara dua bujur awewe. Kiri kanan matras saya adalah ibu-ibu. Dan kebetulan saat saya terbangun itu mereka juga sedang tidur. Masing-masing membelakangi saya.
Saya segera menuju Dek 6, tempat mushala berada. Melangkahi banyak orang yang bergeletakan tidur. Di depan mushala ada tempat air wudu. Sekalian cuci muka saya di situ.
Yang menarik perhatian saya, di dinding mushala yang bernama Mushala Al Hidayah ini ada papan prasasti peresmian. Nah yang meresmikan adala Menteri Perhubungan Azwar Anas. Pada masanya beliau ini sangat populer, karena menjadi Ketua PSSI.
Jamaah subuh lumayan banyak. Ada puluhan orang. Tapi saya tidak melihat seorang pun jamaah perempuan.
Seperti KM Tidar yang saya tumpangi kemarin, ada tanda petunjuk kiblat yang akan disesuaikan pada saat posisi kapal berada.
Kembali ke tempar tidur di Dek3, tetangga saya masih pada tidur. Saya periksa hape, ternyata tidak ada sinyal. Alamak, apakah selama lima hari tidak akan ada sinyal? Pikir saya. Sambil ngagoler, saya isi waktu dengan menulis catatan perjalanan ini.
Sekitar pukul 06.00 ada pengumuman bahwa jatah makan sudah bisa diambil. Tempatnya di pantry Dek 4. Mendengar pengumuman ini tetangga tempat ttidur saya mulai bangun.
Di satu deret tempat tidur saya (ada 7 matras) kebanyakan tujuan Timika. Yang tujuan Merauke hanya saya dengan seorang prajurit TNI yang sedang mudik dari Ambon.
Masuk ke kamar mandi, pagi ini saya menyadari ini akan jadi persoalan tersendiri. Ada kamar mandi dengan shower, dan ada toilet dengan wc duduk. Ada juga wastafel tempat cuci muka atau mencuci barang lain.
Saat ngantre ambil jatah makanan, saya ketemu tempat mengambil air panas. Setiap kapal PELNI dilengkapi tempat ini. Biasanya tempatnya bersebelahan dengan pantry. Saya keluarkan cangkir bawaan. Ambil air secukupnya untuk nyeduh kopi.
Makin siang suasana hiruk pikuk makin terasa. Ternyata ada banyak pedagang asong. Mereka adalah awak kapal yang sedang lepas tugas. Beragam macam barang mereka tawarkan. Ada nasi, kopi, roti, bubur, telur, rujak, pisang goreng, dan seterusnya.
Cara mereka menjajakan persis seperti pedagang asong di bus. Cuma yang ini tidak sampai maksa-maksa.
Saya isi hari ini dengan ngobrol-ngobrol dengan tetangga matras, dan menjelajah isi kapal. Saat itulah saya menyadari kapal ini penuh sesak. Hampir di setiap lorong ada orang menggelar tilam atau kardus sebagai tempat tidur.
Bahkan ada yang sampai memasang hammock yang ditautkan dengan tiang-tiang di dek belakang. Kebayang kalau sampai terjadi apa-apa di kapal ini, amit-amit, pasti akan menimbulkan kepanikan luar biasa.
Bejibunnya jumlah penumpang sydah pasti ada dampaknya. Yang palung terasa buat saya, makin siang dan sore, jumlah sampah makin banyak. Karena PELNI membagjkan makan dalam plastik mika, maka sampah plastik mika ini sangat banyak.
Saya berpikir semoga ke depannya PELNI memikirkan untuk membagi makan dengan cara prasmanan saja. Dibagikan dalam nampan yang kemudian setelah dipakai bisa dicuci. Sehingga PELNI juga berkontribusi dalam mengurangi sampah plastik.
Sampai sore hari saya masih bisa menikkmati perjalanan naik kapal ini. Rasa ingin tahu saya masih tinggi. Dan masih banyak hal baru, akan saya temui.
Tapi pada malam hari, setelah selesai makan malam, situasi terasa tidak kondusif buat saya. Ombak di perairan antara Ambon dengan Tual ini cukup besar. Kapal terasa oleng ke kiri oleng ke kanan. Perut saya mulai mual. Dan keluar keringat dingin…
Tual (Maluku), 18 Juni 2025
Taufik Abriansyah