Duh, Kehilangan Tiket

Santai181 Views

GITULAH.COMDay 48 [Baubau – Ambon]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

HARI ini pengalaman saya lumayan seru. Sempat tertahan di pelabuhan, tak dapat jatah makan karena tiket hilang, dan tidur di dek pinggiran kapal.

Pagi-pagi suasana Penginapan Sahabat tempat saya menginap di Baubau terasa lebih ramai. Suara langkah kaki di lantai kayu terdengar jelas. Seperti saya, semua tamu di penginapan ini adalah calon penumpang KM Ciremai.

Menurut jadwal, KM Ciremai yang akan membawa saya dari Baubau ke Ambon akan berangkat pukul 10.00 WITA. Dan sesuai aturannya, dua jam sebelumnya penumpang bisa “boarding”. Namun, sejak jam 06.00 saya melihat sudah ada tamu penginapan yang berangkat menuju pelabuhan.

Saya bisa agak nyantai karena sudah mencetak “boarding pass”. Kemarin sekalian jalan-jalan ke Benteng Keraton Buton. Dari tempat saya menginap ke Pelabuhan Murhum ditempuh dengan bersepeda kurang dari 10 menit.

Karena agak nyantai itu saya bisa ngopi sambil menyaksikan kesibukan orang-orang dari teras lantai dua penginapan. Setelah itu baru saya mandi dan menyiapkan barang bawaan.

Menjelang jam 08.00 saya mulai bergerak. Penjaga penginapan mengucapkan terima kasih atas kesediaan menginap di tempatnya. “Alhamdulillah pak kita ketemu di sini. Mohon maaf atas kekurangan kami,” katanya.

Di jalan menuju pelabuhan, saya berhenti di sebuah toko yang menjual kue basah. Ada banyak macam kue yang saya beli untuk bekal. Selain memang suka ngemil, ini juga kesempatan saya untuk nyoba kuliner lokal.

Selain kue, saya juga sempat berhenti untuk beli nasi. Bekal makan siang. Nasi chicken alias nasi ayam goreng. Perjalanan naik kapal dari Maumere – Baubau dua hari lalu, memberi pelajaran pada saya bahwa jatah makan di kapal baru berlaku untuk sesi berikutnya. Contohnya keberangkatan saya hari ini. Karena saya berangkat jam 10.00, maka baru akan mendapat jatah makan pada malam nanti.

Sekitar jam 08.00 saya tiba di pelabuhan. Suasanya sangat ramai. Oleh orang yang mau berangkat maupun menjemput. Pelabuhan Baubau memang dikenal salah satu pelabuhan yang sibuk. Kapal PELNI yang singgah kini menurunkan dan menaikkan ribuan penumpang.

Tampilan sepeda dengan gembolan kiri kanan plus bendera merah putih, karuan saja menarik perhatian. Ada yang mengambil foto, mengambil video, ada juga yang menegur dan mengajak berbincang. Sebisa mungkin saya menjelaskan rasa ingin tahu mereka.

Sekitar jam 11.00 KM Ciremai yang akan saya tumpangi mulai sandar. Bersamaan dengan penumpang turun, penumpang yang akan naik mulai boarding masuk ke gedung pelabuhan.

Topik Lain :  Day 30: Akhirnya Saya Masuk Gerbang Provinsi Sumbar

Karena membawa sepeda, saya diarahkan masuk melalui jalan yang ada di sebelah kiri gedung pelabuhan. Di situ ternyata ada loket untuk memeriksa kelebihan bagasi yang dibawa penumpang. Saya dihentikan petugas. “Sepeda harus pakai barcode,” katanya.

Semula saya diminta membayar Rp 200 ribu untuk barcode sepeda. Saya langsung menolak, karena menurut saya terlalu mahal. Dia lalu menghubungi atasannya. Saya kemudian diminta membayar semampunya saya. “Sudah, saya bayar Rp 50 ribu saja ya. Mohon pengertiannya. Saya bukan peturing kaya,” kata saya.

Deal. Petugas itu lalu mencetak sticker barkode untuk sepeda. Si Lady saya dorong menuju kapal. Menurut saya, membayar Rp 50 ribu masih termasuk wajarlah.

Di tangga naik kapal, pannier saya copot. Saya letakkan gembolan tersebut di bawah tangga setelah dititipkan ke petugas. Saya gotong sepeda naik tangga masuk ke perut kapal.

Berbeda dengan kemarin di KM Tidar dari Maumere ke Baubau, di KM Ciremai ini saya langsung masuk ke Dek 3. Suasananya sudah penuh sesak oleh penumpang yang membuat lapak tempat tidur mereka. “Wah celaka, ini sepeda mau disimpan di mana,” pikir saya. Saya sempat panik karena tiket yang saya miliki adalah tiket non-seat. Dengan tiket ini saya tidak punya tempat di dek.

Sembari mendorong sepeda, otak saya berpikir keras ini teman seperjalanan mau di simpan di mana. Di saat kritis itu saya melihat ada satu sisi tangga yang terkunci karena itu akses khusus untuk kru kapal. Saya pikir kalau sepeda disimpan disitu tidak akan mengganggu.

Namun, untuk ke lokasi itu saya harus melewati lapak ibu-ibu sepuh yang sepertinya tidak senang dengan kehadiran saya. Cuek saja, saya lipat sedikit tilam lapaknya supaya dapat melangkah ke area tangga itu. Susah payah saya menyandarkan sepeda dan mengikatnya supaya tidak jatuh.

Beres menyimpan sepeda saya turun kapal lagi. Ngambil pannier yang tadi saya simpan di bawah tangga. Seperti tadi, saya lipat lagi tilam ibu sepuh tadi supaya saya dapat melangkah menyimpan pannier bersama sepeda. Setelah itu saya naik ke Dek 5, meninggalkan si ibu yang terus memasang muka masam.

Di dek 5 saya menuju pinggiran kapal mencari tempat untuk saya membuka lapak. Di dekat pintu haluan saya melihat seorang bapak yang sudah lebih dulu menggelar tilam. Saya letakkan matras di sebelahnya. Saya berencana untuk tidur di sini malam ini. Nanti kalau memang tidak kuat, saya akan masuk mencari tempat di dalam kapal.

Sekitar jam 11.00 kapal mulai bergerak. Saya melihat pemandangan yang cukup seru. Sejumlah anak menggunakan perahu dayung mendekati kapal yang sedang bergerak perlahan. Mereka berteriak: “Lempar, lempar.. ” ke arah penumpang.

Topik Lain :  Day 19: Mumpung Masih di Palembang, Saya Puas-puasin Kulinerannya

Beberapa penumpang terlihat melempar uang. Ada yang melempar yang dua ribuan, ada yang lima ribuan. Uang kertas. Uang yang melayang lalu jatuh ke laut kemudian menjadi rebutan anak-anak berperahu dayung.

Atraksi seperti ini dulu sering saya saksikan di pelabuhan Merak dan Bakauheni. Bedanya anak-anak di sana tidak menggunakan perahu dayung. Melainkan langsung berenang. Uang yang dilempar penumpang bukan uang kertas, tapi uang logam.

Setelah kapal berada di laut lepas, saya mulai merasakan angin laut. Ombaknya yang tenang, membuat saya nyaman duduk di pinggiran kapal.

Tak lama kemudian bergema azan Dzuhur. Saya menuju mushala yang terketak di Dek 7. Sebelum shalat, sang imam memberi briefing bahwa shalat akan dilakukan secara jama. Shalat Asar ditarik ke shalat Dzuhur.

Selepas shalat, saya kembali ke lapak saya di pinggiran Dek 5. Bekal nasi bungkus yang tadi saya beli, saya buka. Makan siang. Potongan ayamnya ternyata cukup besar. Pantas saja harganya Rp 25 ribu. Saya makan separuh. Separuhnya lagi saya simpan untuk jaga-jaga kalau jatah makan nanti tidak cocok dengan selera.

Sebagai penumpang non-seat, saya tidak punya akses ke colokan listrik. Namun, yang menyenangkan adalah solidaritas penumpang kapal sangatlah tinggi. Penumpang di tempat tidur menyilakan jika ingin meggunakan colokan listrik yang ada di area atas tempat tidur mereka.

Drama terjadi saat ngantre ambil jatah makan malam. Selepas Maghrib, dari Dek 7 saya langsung ke Dek 4 tempat pantry makan malam berada. Antrean sangat panjang.

Saat ngantre itu, muncul mood saya untuk menulis. Sambil berdiri ngantre saya nulis dapat beberapa alinea. Beberapa kali saya mengeluarkan dan menyimpan kembali hape di tas pinggang yang saya kenakan.

Dekat giliran saya di depan pantry, saya baru menyadari tiket saya hilang. Saya yakin betul tadi membawa tiket, dan saya simpan bersama hape dan dompet di tas pinggang. Kemungkinan besar terjatuh saat tadi saya mengeluarkan dan memasukkan hape.

Alhasil saya tidak bisa mengambil jatah makan. Saya tidak khawatir kelaparan karena bekal kue-kue basah tadi bisalah sebagai pengganti malam. Yang saya khawatirkan adalah nanti pas ada pemeriksaan tiket. Saya harus menyiapkan alasan.

Untungnya perut saya tidak terlalu lapar malam ini. Untungnya lagi saya masih punya separuh potongan ayam sisa tadi makan siang.

Setelah puas ngobrol-ngobrol dengan tetangga lapak, sekitar pukul 23.00 saya mulai mengenakan gaun malam. Saya pakai sarung, kupluk, kaos kaki. Dan sarung tangan. Mudah-mudahan saya tidak masuk angin.

Ini kesempatan buat saya untuk mendapat pengalaman baru. Tidur di pinggiran dek kapal ditingkahi deburan ombak.

Antara Baubau – Ambon, 16 Juni 2025

Taufik Abriansyah