Nanga Tumpu Menguras Tenaga

Santai308 Views

GITULAH.COM

Day 28 [Empang – Dompu 95 km)

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com akan menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

DARI rencana rute yang saya susun, seperti kemarin hari ini saya akan menempuh jarak yang lumayan jauh. Yakni 85 kilometer. Dan menurut info yang saya terima pada etape ini saya akan melewati tanjakan ekstrem.

Oleh karena itu hari ini saya memilih berangkat lebih pagi. Supaya cukup banyak waktu. Biasanya saya kepayahan kalau ketemu tanjakan.

Hari baru akan terang waktu saya berangkat. Pintu pagar bahkan masih digembok. Seorang pemuda, mengaku dari Bangkalan Madura, menyongsong saya. Dia lalu mengulurkan tangan. Saya kira salaman biasa. Ternyata tangan saya dicium.

Duh. Semalam ada yang minta didoakan, pagi ini ada yang cium tangan. Dia lalu membantu saya membuka pagar.

Suasana jalan masih sangat sepi. Hanya terlihat rombongan ibu-ibu yang sepertinya hendak berangkat dinas. Dinas ke kebun atau ke ladang.

Yang menarik perhatian saya, wajah ibu-ibu ini tampak dilumuri bedak yang terlihat kasar. Masker lokal ini terbuat dari beras. Semacam tabir surya. Untuk menghalau sengatan matahari di wajah.

Setelah Kecamatan Empang masuk ke Kecamatan Tarano. Ditandai gedung

Puskesmas berwarna hijau yang membuatnya tampak mencolok.

Anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah menyapa saya dengan “hallo mister hallo mister”.

Di daerah Labuhan Jambu saya melihat seorang bapak sedang menyingkirkan bangkai anjing dari jalan. Sepertinya anjing itu baru saja ditabrak kendaraan.

Jalannya aspal mulus. Sementara masih cenderung datar. Di sebelah kiri jalan ada laut, di sebelah kanan ada gunung atau bukit. Bukan berupa hutan atau semak belukar. Tapi lebih seperti sabana dengan alang-alang atau kebun jagung. Di sisi pantai ada kesibukan orang-orang yang menaikkan dan menurunkan barang-barang dari perahu. Sepertinya ini dermaga lokal untuk ke pulau-pulau kecil.

Topik Lain :  Asmaul Husna Menghalau Mual

Yang menarik perhatian saya, ada banyak pedagang bermotor. Dengan boks styrofoam di belakang. Mereka adalah pedagang ikan keliling.

Beberapa kilometer mengayuh, ketemu gapura perbatasan antara Kabupaten Sumbawa dengan Kabupaten Dompu.

Di depan SD Negeri Manggalewa saya berhenti di warung yang berjualan gado-gado. Alhamdulillah saya akhirnya mengonsumsi makanan yang banyak sayurnya.

Si ibu pedagang sambil mengulek bumbu gado-gadonya terus ngajak saya ngobrol. Sementara saya lebih tertarik memperhatikan ibu sepuh di belakangnya yang sedang menumbuk kacang dengan alu panjang.

Perut sudah terisi, saya lebih percaya diri untuk melewati tanjakan Nanga Tumpu. Dari cerita yang saya dengar, ruas jalan ini merupakan segmen paling berat antara Sumbawa ke Bima. Bahkan ada juga yang bilang ini tanjakan tertinggi di Pulau Sumbawa.

Masuk Desa Nanga Tumpu pas Dzuhur. Saya mampir dulu ke Masjid Nurul Ihsan. Masjidnya kebetulan sedang renovasi. Jadi saya bisa titipkan sejumlah uang kiriman teman saya Veteran Gedung Sate. Dia tidak mau namanya disebutkan. (Inisial panggilannya: A)

Walau matahari sedang tinggi, selesai shalat saya langsung bergerak lagi. Saya tidak ingin membuang waktu, karena khawatir kelamaan saat nanjak.

Melewati Rumah Makan Putri Nanga Tumpu kontur jalan mulai menanjak. Rumah makan ini rupanya tempat istirahat bus yang melintasi trayek ini. Tak ayal saya menjadi perhatian penumpang yang beristirahat di bawah pohon.

Mungkin karena sudah siap mental, saya bisa terus mengayuh mendaki Nanga Tumpu. Walaupun gradiennya (kemiringan) cukup tajam. Mirip Ciloto – Puncak, atau tanjakan Cikole – Tangkuban Perahu. Tapi yang ini jauh lebih panjang.

Saya terus merayap. Pelan tapi berjalan. Di satu tanjakan akhirnya saya berhenti. Karena melihat ada seorang pria duduk di bawah truk tanki yang sedang mogok. Saya ulurkan roti dan donat bekal saya. Dia langsung menyambut gembira.

Bapak ini bernama Pak Sugianto. Sudah satu minggu nungguin truk tanki pembawa aspal itu. “Lagi nyari sparepart-nya di Sumbawa. Mudah-mudahan hari ini sudah ada,” katanya. Ya Allah pak, seminggu nungguin truk di tengah leuweung begini.

Topik Lain :  Gagal ke Pulau Ende

Saya merayap lagi. Lalu di tengah situasi ngap-ngapan itu ada mobil sedan berwarna biru menyalip dan berhenti di depan saya. Penumpangnya turun. Tiga orang laki-laki. Masih muda-muda.

Alhamdulillah saya tidak punya pikiran bahwa mereka orang jahat yang mau memegal saya. Pikiran saya mereka anak muda yang aktif di media sosial. Semacam konten kreator lah. Ada orang bersepeda di Nanga Tumpu dalam keadaan terik matahari seperti ini tentu menarik untuk dijadikan konten.

Benar saja. Mereka bilang sudah memvideokan saya, dan minta izin untuk mengunggahnya. Wah keren, mereka minta izin dulu. Lebih kerennya lagi sebelum berpisah mereka menyalami saya dengan selembar uang berwarna biru. Alhamdulillah, rezeki peturing saleh.

Ada sekitar 4 kilometer menempuh jalan menanjak, akhirnya saya ketemu tempat semacam rest areanya. Jalannya datar. Banyak pedagang bermotor. “Nanti setelah tower itu baru jalannya turun, bang,” kata seorang pedagang cilok.

Rupanya harus mendaki beberapa ratus meter lagi. Di bawah tower ada gardu. Antara gardu listrik atau perusahaan telekomunikasi. Tulisan di gardu itu yang menarik perhatian saya: Demokrasi Bukan Jalan Islam.

Setelah melewati tower, jalan mulai menurun. Terus menurun. Panjang pisan. Alhamdulillah, saya sudah berhasil melewati tanjakan Nanga Tumpu. Dan perut jadi terasa lapar.

Di Desa Banggo akhirnya saya bertemu warung makan. Mungkin sudah lewat jam makan, menu yang ada hanya tersedia potongan ayam. Ya sudah saya sikat juga.

Jalan lagi. Kontur jalan sudah datar. Sampai pertigaan Soriutu. Ini kota kecamatan yang terasa ramai. Ada pasar, bank, mini market , dan masjid dengan kubah besar menyambut. Masjid Besar Nurul Askar. Suasanya terasa suasana kota.

Di ruas jalan yang datar ini saya melihat banyak kambing berkeliaran mencari makan di tengah jalan. Mereka melahap biji-biji jagung yang berceceran di jalan.

Masuk Kecamatan Woja ketemu tanjakan lagi. Dan lumayan tajam. Ngos-ngosan dan keluar keringat lagi.

Dengan sisa-sisa tenaga akhirnya saya masuk kota Dompu sekitar jam 17.00. Menempuh 95 kilometer hari ini lumayan menguras tenaga.

Dompu, 27 Mei 2025

Taufik Abriansyah