Sampai Asmat tapi Hujan

Santai215 Views

GITULAH.COMDay 53 [Ambon – Merauke]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

SETELAH berlayar sekitar 11 jam dari pelabuhan terakhir di Pomako, Timika, KM Tatamailau yang saya tumpangi merapat di Pelabuhan Agats. Ini merupakan pelabuhan persinggahan terakhir sebelum tiba di Merauke. Waktu menunjukkan pukul 01.00 WIT.

Singgah di pelabuhan berarti dapat sinyal lagi. Buru-buru saya mengirimkan tulisan catatan perjalanan ke teman-teman yang selama ini menayangkan tulisan saya di medianya masing-masing.

Karena hari sudah malam, saya maklum ada yang merespons ada yang tidak. Dalam touring kali ini ada empat teman dengan empat media online yang berbeda yang secara rutin saya kirimi catatan perjalanan saya.

Mereka adalah Budi Nugraha (Jakarta Suara Merdeka), Enton Supriatna Sind (Koran Gala), Nurul Saleh Hamami (Gitulah.com), Tatang Suherman (Trans Jabar.id).

Saya tidak terlalu menyoal apakah tulisan saya ini pembacanya banyak atau tidak. Apakah akan mendapat honorarium atau cap nuhun. Sebab bagaimanapun, saya tetap akan menulis karena saya berencana membukukan cerita pengalaman saya ini.

“Pembacanya ada banyak. Tapi belum cukup banyak untuk jadi duit,” kata Budi Nugraha.

Karena bukan hubungan profesional, maka harap maklum kalau kelancaran penulisan catatan perjalanan ini tergantung mood saya. Namanya catatan harian, tapi penulisannya bisa molor berhari-hari.

Singgah di Agats dini hari tadi saya hanya bisa manyun. Lantaran pas kapal sandar pas hujan turun. Deras pula. Saya manyun menyesali situasi ini karena dari dulu saya kepingin sekali ke Agats.

Topik Lain :  Day 35: Kembali Saya Masuk ke dalam Pelosok Sumatra Barat

Saat dulu ada kerjaan di Papua, saya pernah dua kali mencoba ke Agats. Keduanya gagal. Hanya setengah perjalanan. Yaitu sampai Timika. Waktu itu saya ditemani staf Bank Papua Wangsit Rihardjanto, berangkat dari Jayapura.

Untuk mencapai Agats, selain dengan kapal PELNI yang jadwalnya terbatas, bisa menggunakan pesawat terbang yang berangkat dari Bandara Moses Kilangin Timika. Namun seperti dengan kapal laut, jadwal kapal terbang juga tidak menentu karena tergantung cuaca.

Agats adalah ibu kota Kabupaten Asmat. Nama suku ini saya kenal saat dulu ada heboh seorang perempuan bule (saya lupa dia peneliti atau wartawati) yang menikah dengan kepala suku Asmat (kalau nggak salah, namanya Obahorok).

Suku Asmat juga dikenal karena mempunyai tradisi seni lukis dan pahat yang memiliki ciri tersendiri. Berbeda dengan suku lain.

Selain itu, kota Agats juga mempunyai keistimewaan karena dibangun di atas rawa dan lumpur. Semua bangunan, termasuk juga jalan, terbuat dari papan. Semua kebutuhan warga dipasok dari luar. Termasuk sayuran.

Satu-satunya mobil di kota ini adalah mobil ambulans. Sisanya adalah motor roda tiga atau motor listrik. “Motor listrik di sini sudah populer jauh sebelum banyak di kota-kota besar seperti sekarang ini,” kata seorang warga Agats.

Sayang hujannya lumayan deras. Saya perhatikan tidak ada satu pun bangunan di dermaga. Kalau saya memaksa turun, pasti akan basah. Jadi terpaksalah saya hanya bisa menonton hiruk pikuk Pelabuhan Agats ini dari atas kapal.

Satu-satunya mobil yang ada di Agats, yaitu mobil ambulance, terlihat standby di dermaga.

Satu hal yang menarik perhatian saya adalah banyaknya orang yang tidak berkepentingan berada di pelabuhan. Bahkan sampai sampai masuk ke kapal. Pemandangan ini sudah saya saksikan sejak kapal singgah di Timika.

Topik Lain :  Day 28: Alhamdulillah Sering Dapat Minuman Ringan dari Pemotor

Berkali-kali suara di speaker mengingatkan para penumpang untuk selalu mengawasi barang bawaannya. Begitu ada bunyi stoom (klakson di kapal) dua kali tanda bahwa kapal akan bertolak dalam setengah jam lagi, saya kembali ke matras.

Sekitar jam 02.30 saya tidur. Bangun lagi pas azan Subuh. Menuju ke mushala kali ini kapal sudah sangat lengang. Tidak ada lagi penumpang yang buka lapak bergeletakan di lorong jalan. Bahkan banyak tempat tidur terlihat kosong. Termasuk di deretan saya.

Selesai subuh, saya tidur lagi. Masih ngantuk. Bangun lagi sekitar jam 07.00 saat ada pengumuman makan pagi sudah bisa diambil.

Bergegas saya berdiri. Pergi ke pantry di Dek 4 untuk ambil jatah makan pagi. Karena tadi malam di Asmat tak bisa turun, saya tak bisa jajan untuk bekal.

Suasana kapal yang sudah lengang, sebenarnya cukup membuat nyaman. Namun, perjalanan ke Merauke masih akan memakan waktu sekitar dua hari lagi. Dua hari pula tanpa sinyal.

Sepanjang hari hanya ngegoler saja yang bisa saya lakukan. Hiburan buat saya adalah televisi persis di depan tempat tidur. Namun, yang disiarkan sangat acak. Kadang siaran olah raga, kadang iklan PELNI, kadang film India.

Untuk nongkrong di anjungan, saya merasa agak seram melihat alunan gelombangnya yang cukup tinggi. Arus ombak di perairan ini memang dikenal deras. Di jalur ini dulu kameraman acara televisi “Jejak Petualang ” hilang.

Dua hari ini menjadi semacam babak final bagi saya untuk menjaga emosi dan kesabaran.

Antara Asmat – Merauke, 21 Juni 2025

Taufik Abriansyah