Asmaul Husna Menghalau Mual

Santai153 Views

GITULAH.COMDay 51 [Ambon – Merauke]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

SEKITAR 50 hari sudah saya gowes “Cipageran – Merauke”, baru kali ini saya mengalami keringat dingin. Kapal yang oleng kanan oleng kiri karena alunan ombak yang kencang membuat perut jadi mual.

Jangankan saya yang jarang-jarang naik kapal. Banyak penumpang lain yang juga mengalami hal sama. Bahkan, seorang anak muda yang menggelar tilam di dekat saya, bolak balik ke kamar mandi. “Saya mabuk laut, Oom,” katanya.

Saya sekuat tenaga menahan perut saya untuk muntah. Saya punya pengalaman, kalau sampai muntah, rasanya tidak enak sekali. Ini pernah saya alami saat ikut Gubernur Papua (waktu itu) Barnabas Suebu “turkam” keliling Papua sekitar tahun 2010.

Agar tak sampai muntah, saya berusaha mengatasi rasa mual ini dengan berbagai cara. Pertama, saya oleskan freshcare ke seluruh area perut dan leher. Lumayan membantu karena membuat perut jadi lebih hangat.

Freshcare ini bekal yang diberikan sepupu istri saya, Diliani, waku saya mampir ke rumah Mang Eno saat memulai touring ini. Dili membekali saya sekotak obat-,obatan yang mungkin saya perlukan di dalam perjalanan ini.

Cara kedua, yang saya tempuh untuk menghalau rasa mual ini, adalah mengalihkan sugesti pikiran. Saya mulai menyenandungkan “asmaul husna” yang menjadi kebiasaan saat bergabung di “Perguruan” 165.

Berangsur konsentrasi pikiran beralih. Rasa mual perlahan hilang. Apalagi saat saya mulai membuka aplikasi Al Quran. Saya baca surat Ar Rahman, berikut artinya. Perlahan-lahan.

Tamat surat Ar Rahman saya lanjut membaca surat Al Gasiyah. Surat ini saya sukai karena lagunya yang indah sekali di telinga saya.

Sekadar untuk berbagi cerita, saya pernah jadi makmum anak tertua saya Indiana dalam sebuah shalat. Saya senang sekali waktu dia membaca surat Al Gasiyah.

Bolak-balik membaca Ar Rahman dan Gasiyah akhirnya saya mengantuk. Wajar juga sih ngantuk, sudah pukul 02.00. Dan saya pun tertidur. Bangun-bangun pas terdengar azan subuh di speaker.

Topik Lain :  Sudah 70 Persen dari Target Realisasi Investasi Sektor Parekraf

Saat subuh itu, kapal sandar di Tual. Bersamaan dengan itu, hape saya kembali mendapat sinyal. Ada banyak pesan yang masuk. Yang japri-japri segera saya baca. Takut ada hal penting, atau mendatangkan rezeki, yang disampaikan.

Salah satu pesan yang masuk justru membuat saya terhenyak. Kang Omi, mionion Bandung yang saya singgahi di hari pertama touring ini, memberi kabar bahwa Wa Haji Ike Dorodjatun telah meninggal dunia. Innalillahi wainaillahi rajiun.

Wa Ike termasuk senior dalam dunia sepeda. Dia dikenal luas karena kebaikannya. Apalagi bagi para penggenar sepeda jarak jauh seperti saya. Rumahnya di Ciawi Bogor, yang diberi nama “Dagoer”, adalah salah satu rumah singgah bagi para peturing bersepeda.

Secara pribadi saya beberapa kali bertemu beliau. Saya juga pernah gowes bareng Wak Haji Ike dari Kledung, Temanggung, ke Magelang, saat pulang menghadiri even KTF (Kadung Tresno Federal) dua tahun lalu.

Sudah beberapa bulan ini Wak Haji Ike tergolek sakit. Beberapa kali harus dirawat di Rumah Sakit. Kami di Fedkoci juga pernah melakukan kegiatan penggalangan dana untuk beliau. Teruskan perjalanan Wak Haji Ike. Semoga dilapangkan.

Berbeda dengan dua kapal PELNI yang saya tumpangi sebelumnya, di KM Tataimaulau ini sinyal hanya didapatkan saat kapal sandar. Saat kapal berlayar sebenarnya ada wifi, tapi berbayar. Harganya lumayan mahal. Untuk mengaktifkan wifi selama 4 jam saja, harus membayar Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu.

Cara mendapatkan kuota wifi ini adalah dengan membeli kepada pedagang asong awak kapal yang lepas tugas. Cara mereka menjajakan kuota ini terdengar unik: “Wifi… wifi…’.
Saat kapal sandar, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menginjakkan kaki di pulau ini. Menambah panjang daftar pulau yang pernah saya injak.

Namun sayangnya, pas saya turun dari tangga dan menginjakkan kaki di Tual, pas turun hujan pula. Langsung deras. Dan tidak ada bangunan untuk tempat berlindung di dermaga itu.

Satu-satunya tempat supaya saya tidak kebasahan adalah ikut bergbung di bawah terpal bersama beberapa penumpang lain. Terpal itu sebenarnya untuk melindungi barang bawaan penumpang yang sedang disimpan di dermaga.

Topik Lain :  Jumlah Turis Asing pada Desember 2022 Meroket 447,08 Persen

Dan hujan lumayan deras cukup lama. Saya merenungi nasib saya pagi ini. Turun dari kapal untuk kehujanan. Tidak bisa ngapa-ngapain.

Begitu hujan agak mereda saya balik kanan. Menerobos gerimis, saya kembali naik kapal. Meski tak bisa foto-foto atau ambil video, saya sudah cukup terhibur. Paling tidak saya sudah menginjakkan kaki di Pulau Tual.

Menerobos hujan gerimis, meski pendek saja membuat saya kebasahan. Tetangga tempat tidur keheranan melihat saya kembali dalam keadaan basah. Saya segera ganti baju.

Di dalam kapal, situasi makin krodit. Ada penumpang yang tertahan untuk turun karena hujan. Ada pula yang baru naik. Situasi pabeliut itu ditambah lagi dengan hadirnya pedagang asong warga lokal. Semuanya kaum emak-emak. Berkerudung. Tidak ada seorang pun pedagang asong itu dari kaum laki-laki.

Di antara beragam dagangan mereka, hanya satu yang menarik perhatian saya. Yaitu kacang botol. Saya kira apa. Ternyata kacang goreng yang dikemas dalam botol. Unik juga.

Sekitar dua jam berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, kapal kemudian bergerak lagi. Hari makin siang.

Seperti kemarin, untuk menghalau kebosanan saya bolak-balik ke anjungan di buritan kapal. Di sini ada meja kursi tempat penumpang nyantai menikmati laut.

Sekitar jam 17.00 kapal singgah lagi di Pelabuhan Dobo, Kepulauan Aru. Dari speaker ada pengumuman bahwa penumpang lanjutan tidak diperkenankan turun. Alasannya, kapal akan segera berangkat lagi.

Wah rugi saya kalau tidak sampai turun. Ini kesempatan buat saya untuk menambah panjang daftar pulau yang saya injak. Maka saya tunggu saja. Saat petugasnya lengah, bergegas saya turun.

Sudah di dermaga saya tinggal minta tolong orang yang ada di sekitar untuk ambil foto saya. Alhamdulillah dalam touring kali ini bertambah tiga pulau lagi yang pernah saya datangi. Yaitu: Pulau Buton, Pulau Tual, dan Pulau Aru.

Tidak lama di dermaga, saya segera naik kapal lagi. Langsung ke mushala di Dek 6 untuk shalat Maghrib berjamaah. Kali ini shalat dalam keadaan kapal diam. Kaki berdiri tidak harus pasang kuda-kuda mengikuti alunan ombak.

Antara Aru – Timika, 19 Juni 2025

Taufik Abriansyah