Maumere Akhir Gowes di Flores

Santai53 Views

GITULAH.COMDay 43 [Paga – Maumere 45 km]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

HARI ini saya gowes di etape terakhir di Pulau Flores. Nanti setiba di Maumere saya tinggal menunggu KM Tidar yang akan membawa saya ke Baubau.

Saya cukup bersemangat untuk gowes hari ini. Sayangnya cuaca kurang mendukung. Sejak tadi malam Kecamatan Paga, di mana Masjid Baiturahnan tempat saya nginap ini berada, diguyur hujan deras. Sangat deras dan cukup lama.

Hingga pagi ini masih hujan. Meski sudah tidak sederas tadi malam. Mungkin karena hujan ini, jamaah subuh hanya ada lima orang.

Lepas shalat kami berbincang-bincang. Ngariung. Yang menarik buat saya adalah saat mendengar bapak-bapak ini saling berbincang. Pak Haris, Pak Syafrudin, Pak Burhan, dan Pak Adam, asli warga lokal. Entah menggunakan bahasa Maumere atau Bahasa Lio (ini nama suku di Ende), saya sama sekali tidak paham.

Setelah mereka pulang, saya nyalakan kompor. Masak air segelas untuk nyeduh kopi. Dalam touring kali ini saya membawa kompor berbahan bakar parafin. Bukan kompor mini dengan gas portabel.

Saya sarapan dengan segelas kopi plus kue yang kemarin dibekelin bu Clef. Nasinya sudah saya habiskan tadi malam. Bu Clef membekaki saya dalam porsi yang lunayan banyak. Portugal, kata anak saya. Porsi tukang gali.

Selain nasi, ada dua ikan, dua telur ceplok, bungkusan sayur, dan sambel. Dikemas dalam wadah yang ternyata bermerek Tupperware. Wah, barang mewah untuk kaum emak-emak.

Karena masih hujan, saya ngagoler lagi. Saya merasa nyaman karena masjid dalam keadaan kosong. Suhu tidak panas pula. Tahu-tahu ada seorang pria masuk. Dia terlihat tergesa-gesa. Mengambil mik dan menyampaikan pengumuman.

Rupanya bapak itu mengabarkan ada warga yang meninggal dunia. Innalillahi wainailaihi rajiun. Dan rencananya akan dimakamkan pagi itu juga.

Saya langsung bangkit berdiri dan mandi. Saya segera membereskan barang bawaan saya. Khawatir masjid keburu didatangi warga untuk melaksanakan shalat jenazah.

Topik Lain :  Menparekraf: Investasi Hijau dan SDM Kunci Utama Pengembangan Pariwisata ke Depan

Sekitar jam 08.00 saat hujan benar-benar berhenti, saya segera bergerak. Meninggalkan masjid dan meninggalkan Kecamatan Paga. Sempat mampir sebentar di bengkel motor untuk isi angin. Pompa sepeda yang saya bawa sudah saya tinggalkan di Ende karena tidak bisa dipakai lagi.

Seperti kemarin kontur jalan hari ini masih naik turun. Tantangannya adalah cuaca mendung dan kelihatannya hujan akan turun lagi.

Di Desa Bhera, Kecamatan Lekebai, hujan benar-benar turun. Untungnya saya sudah menepi di bawah kanopi ruko yang kosong. Alhamdulillah. Sejauh ini setiap kali hujan turun saya selalu mendapat tenpat berteduh. Maksudnya, termasuk sepeda juga terlindung dari hujan.

Di seberang tempat saya berteduh ini ternyata rumah tokoh nasional Frans Seda. Nama ini tidak asing buat saya karena sewaktu saya melek dunia, saya sering membaca namanya di surat kabar.

Di dinding gerbang rumahnya, ada tulisan “Kopo Seda Mude Koba Kela Setanah, Leja Kai Meta Uja Kai Dusa”. Sungguh saya tidak mengerti maknanya. Beberapa orang yang saya temui di Maumere kemudian, tidak paham juga. Itu bahasa Lio.

Ternyata di Flores ini ada banyak bahasa lokal. Tiap suku punya bahasa yang berbeda. Untuk berbicara antarsuku, misalnya orang Ende dengan orang Maumere, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Tentu dengan intonasi dan dialek Indonesia Timur.

Cukup lama saya tertahan katena hujan. Setelah reda baru saya jalan lagi. Untungnya cuaca jadi tidak panas. Terasa syahdu. Apalagi saat melewati kawasan hutan. Tapi jalan jadi lebih licin. Saya tetap keringatan karena beberapa kali berhadapan dengan tanjakan yang cukup tajam.

Masuk Kecamatan Nita, kontur jalan sudah lebih datar. Nama kecamatan ini unik juga. Nama seorang wanita. Dan ramai orang. Ada pasar, bank, pom bensin, dan mini market. Saya mampir di warung bakso Malang untuk istirahat sekaligus ngisi perut.

Selepas Kecamatan Nita hingga kota Maumere kontur jalannya menurun. Benar-benar penuh turunan sehingga dengan sebentar saja saya sudah masuk kota. Waktu menunjukkan pukul 13.30.

Saya berhenti sebentar untuk memeriksa maps. Tujuan saya adalah Masjid Al Muhajrin yang terletak di daerah Perumnas. Info dari Oom Rian, teman saya di KSTI yang berasal dari Maumere, masjid Al Muhajirin adalah masjid terbesar di Maumere.

Topik Lain :  10 Buah yang Menyehatkan Lansia

Saat melintas di belakang Gelora Samador, ternyata saya nelewati kantor redaksi Tribun Flores dan Pos Kupang. Saya ingat pesan Ketua PWI NTT Ferry Jahang agar saya mampir ke kantor tersebut. “Kalau ke kota Maumere bisa mampir ke TribunFlores, bisa bertemu mas Aris atau mas Gordi,” katanya.

Tiba di kantor TribunFlores, Mas Aris ternyata sudah menunggu saya. Setelah berbincang-bincang sejenak, saya lalu diwawancarai reporter TribunFlores Christiana Natalia Adal. Kembali saya harus menceritakan perjalanan saya.

Dari TribunFlores saya menuju Masjid Al Muhajirin. Masih sempat shalat dzuhur, karena waktu asar masih sekitar 30 menit lagi. Suasana masjid ramai dengan banyaknya anak-anak.

Mereka berlarian ke sana ke mari di masjid yang besar dan megah itu. Anak-anak ini bermain sambil menunggu waktu mengaji sekepas asar.

Selepas asar saya keluar masjid. Mengayuh menyusuri kota Maumere. Kota ini tidak asing di telinga saya. Selain karena populer karena lagu Gemu Famire, kota ini ada di benak saya karena menjadi judul lagu Iwan Fals.

Iwan Fals membuat lagu berjudul “Maumere” sebagai bentuk kepeduliannya atas musibah gempa dan tsunami yang melanda Maumere tahun 1992. Karena alasan tertentu, lagu itu tidak diedarkan.

Namun, saya sempat menonton konsernya yang berlangsung di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tahun 1993. Konser ini menggalang dana untuk membantu Maumere. Saya nonton bersama kawan saya Nurul Saleh dan Hilman Tanuwijaya.

Di jalan Yos Sudarso seorang bapak sepuh bermotor minta saya berhenti. Dia tiba-tiba memberi saya nasi bungkus berisi ayam goreng. “Saya ada dikasih orang nasi ayam tiga bungkus. Kebanyakan buat saya. Ini saya bagi buat bapak satu bungkus,” katanya. Bapak ini bernama Pak Iitje Yie Babong, keturunan Cina.

Menjelang maghrib saya kembali merapat ke Masjid Al Muhajirin. Menemui Ketua Takmir Pak Supardi Wahab, minta izin menginap di masjid itu. Untuk dua malam, selama menunggu jadwal kapal KM Tidar. Beliau mengizinkan dan mengarahkan saya untuk beristirahat di lantai dua. Alhamdulillah.

Maumere, 11 Juni 2025

Taufik Abriansyah