GITULAH.COM — PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.
Day 38
Padang Sidempuan – Sibolga
Kota Padang Sidempuan tidak benar-benar baru buat saya. Sekitar 19 tahun lalu saya pernah singgah di sini. Kebetulan sahabat saya Hilman waktu itu bertugas di sini. Tapi, waktu itu hanya sekejap saja melintas. Tiba malam, pagi sudah berangkat lagi.
Seingat saya kami pernah mampir ke Hotel Sitamiang, tempat kos Hilman waktu masih bujang.
Sebelum kenal sepeda, saya punya cara agak lain untuk menyalurkan kegemaran travelling saya. Contohnya perjalanan saya singgah di Sidempuan itu. Waktu itu, saya mendapat tiket terbang dari Jakarta ke Banda Aceh.
Nah, pulang ke Bandung, saya memilih menggunakan bus. Bukan tembak langsung, tapi dengan cara estafet. Banda Aceh – Lhokseumawe – Binjai – Medan – Padang Sidempuan – Padang – Jambi – Palembang, baru langsung ke Bandung.
Kali ini datang dengan sepeda. Dengan cara-cara ala bohemian. Untuk tempat menginap misalnya, tadi malam saya menumpang di mushala Kantor Pos Padang Sidempuan. Kebetulan teman saya gowes sejak dari Bukittinggi adalah pensiunan PT Pos. Untuk menghemat pengeluaran kami biasa menumpang tidur di masjid atau mushala di Kantor Pos.
Yang menguntungkan, hampir semua kantor pos ada di pusat kota. Tidak sulit mencarinya. Termasuk di Padang Sidempuan ini, lokasinya persis di seberang Kantor Wali Kota. Maklumlah instansi ini termasuk vital bagi negara.
Namun, ini hari minggu. Hari ini jalan di depan kantor pos ditutup karena berlangsung CFD (car free day). Jalan dipenuhi warga yang berolah raga dan pedagang makanan.
Maka tak ayal kami jadi perhatian. Sepeda dengan gembolan kiri kanan dan penuh bendera menjadi ciri bahwa kami gowes dari jauh. “Masya Allah jauh kali, bang,” komentar yang selalu dilontarkan saat mendengar saya datang dari Bandung.
Banyak yang ngajak ngobrol. Banyak pula yang mengambil video dan ngajak foto bersama. Ada tiga anak perempuan bersepeda mendekati saya.
“Bang, bisa minta tolong?” kata salah satu di antaranya.
“Tolong apa?”
Saya kira mereka mau minta video ucapan selamat. Biasanya ada saja komunitas yang seperti ini.
“Ban sepeda kami kempes,” dia membalas sambil menunjukkan roda sepedanya.
Waduh, ternyata dia mau pinjam pompa sepeda, dan sekaligus minta tolong pompakan pula. Setelah tiga anak perempuan ini, bergabung pula goweser dari Klub Sepeda Sidempuan. Ada sekitar 11 sepeda. Mereka mengajak kami bergabung karena arah sama ke Sibolga. Tapi karena mau sarapan dulu, ajakan ini terpaksa ditolak.
Tak jauh dari arena CFD kami melipir ke warung penjual makanan pagi. Sarapan dulu. Warung dengan tulisan makan pagi biasanya menyediakan lontong, mie, dan pecal. Saya memesan Lontong Medan.
Pesanan saya tak kunjung datang. Perut sudah lapar. Rupanya di dalam warung sudah banyak pembeli yang nunggu. Untung lontongnya enak. Jadi kesal karena menunggu lama cukup terobati.
Selepas kota Padang Sidempuan kontur jalan mulai merayap naik. Ada sekitar 10 km. Puncaknya di daerah Parsalakan. Setelah tanjakan, di situ ketemu masjid megah bercat putih jalan mulai mendatar.
Sesuai namanya, daerah ini banyak penjual salak di pinggir jalan.
Menjelang Dzuhur kami masuk kota Kecamatan Batangtoru. Di pertigaan yang ada jembatan seorang pria menghentikan saya. Rupanya dia, Sandy, yang dulu pernah bekerja bersama kawan saya Hilman Tanuwijaya di Padang Sidempuan.
Hilman memang mengabari Sandy bahwa saya akan melintasi Batangtoru. Sandy lalu ngajak saya melipir di kedai ngopi di pinggir Batangtoru (yang juga berarti Sungai Toru). Kedai ini rupanya markas komunitas pegowes setempat. Suasananya sangat asri dengan pemandangan Jembatan Trikora.
Tapi kami tidak berlama-lama. Hari makin panas dan jarak ke Sibolga masih puluhan kilometer lagi. Sebelum berpisah, Sandy rupanya telah menyiapkan nasi bungkus untuk bekal saya.
Setelah melewati kota Batangtoru kami masuk ke Masjid Raya Baitul Muhsinin di daerah Aek Pining. Shalat Dzuhur dan istirahat. Ngagoler karena cuaca sangat terik.
Setelah sempat tertidur sebentar kami berpindah ke warung makan di samping masjid. Saya buka bungkusan nasi yang tadi diberi Sandy. Sementara Pak Teguh dan Pak Muslir harus membeli.
Melihat kami makan dengan lahap dan setelan dari jauh, si ibu sepuh pemilik rumah makan ini mendekat dan ngajak ngobrol. Dia lalu bertanya-tanya seperti biasa setiap kali kami bertemu orang yang penasaran dengan kami.
Tapi ibu sepuh ini asli orang lokal. Orang Tapanuli yang punya gaya bicara yang sangat khas. Meledak-ledak. “Ini ibu kok main marah-marah saja,” komentar Pak Teguh.
Meski bawaannya seperti ngajak berantem, si ibu sangat bersahabat. Disilakannya kami mengisi air minum di botol masing-masing. “Kudoakan kalian selamat sampai tujuan,” katanya.
Setelah perut kenyang dan matahari sedikit meredup kami kembali melanjutkan perjalanan. Dari Batangtoru menuju Sibolga hampir tidak ada lagi tanjakan. Kalau tidak turunan, jalannya datar saja.
Hari masih terang waktu kami masuk kota Sibolga. Saya merasa sangat senang, karena ini kota baru kali ini saya kunjungi. Kotanya kecil saja tapi ramai. Lau lintasnya terasa semrawut karena masing-masing pengendara berebut jalan. Dari bangunan-bangunan yang ada, terlihat sepertinya kota ini sudah tua. Di Sibolga kami menginap di Wisma milik Pemda Sumut depan RSUD. Murah meriah. Apalagi bayarnya patungan bertiga.
Minggu, 25 Agustus 2024
Taufik Abriansyah