Day 35: Kembali Saya Masuk ke dalam Pelosok Sumatra Barat

Santai870 Views

GITULAH.COM PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 35

Bukittinggi – Lubuk Sikaping

Bangun pagi ini aslinya badan saya terasa kurang enak. Seperti mau demam. Kena air wudhu saat mau shalat Subuh tadi, kembali badan saya menggigil. Jadi terpaksalah pagi ini tak mandi lagi. Cukup sikat gigi.

Tadi malam sesudah makan malam dan halat Isya saya memilih langsung tidur. Minum panadol dan antimo dulu supaya tidur nyenyak. Tapi tengah malam beberapa kali saya terjaga. Kedinginan.

Meski agak kurang fit, saya memilih meneruskan perjalanan. Saya berharap nanti di jalan akan keluar keringat. Sehingga bisa menghalau gejala demam. Lagi pula kini saya bertiga dan ada Pak Muslir Datuk Kuning yang merupakan orang asli Bukittinggi, jadi kalau nanti kondisi badan makin memburuk, saya bisa minta bantuan mereka.

Bu Anidar, istri Pak Muslir menyuguhkan nasi goreng untuk sarapan. Nasgor ala Padang. Saya ambil sedikit, eh ditambahinya terus.

“Tambahlah pak, hari ini kan mau jalan jauh,” katanya. Berkali-kali. Padahal karena badan kurang fit, saya tidak begitu berselera untuk sarapan. Bukan itu saja, untuk bekal di perjalanan Bu Anidar juga membungkuskan nasi berikut lauk pauknya. Sekaligus dua porsi. Untuk makan siang dan malam. Biar nggak jajan lagi, katanya.

Sebelum berangkat meninggalkan rumah, sekitar jam 07.00, seperti biasa, kami foto-foto dulu. Bukan hanya dengan Pak Muslir sekeluarga, tetangganya pun ikut melepas. Mereka terkaget-kaget mendengar kami akan bersepeda ke Aceh. Lebih kaget lagi saat mengetahui saya bahkan sudah gowes dari Bandung.

Keluar dari rumah, langsung disambut tanjakan. Ada sekitar lima kilometer pertama kontur jalannya menanjak. Tidak terlalu tajam, tapi ya tetap tanjakan. Dan bikin terengah-engah. Sekitar dua kilometer ada kampus STPDN Sumatra Barat. Berhenti dulu ambil foto sekaligus ambil napas.

Di daerah Camduang, Pak Muslir Datuk Kuning mengarahkan untuk belok kanan. Kembali saya masuk ke dalam pelosok Sumatra Barat. Jalur ini tidak melewati kota Bukittinggi, tapi bikin adem karena suasananya masih asri pedesaan.

Saya sempat penasaran melihat banyaknya rumah warga yang dijadikan homestay ataupun penginapan. Padahal daerah itu pedesaan biasa. Bukan daerah wisata. Rupanya yang disasar adalah orang tua yang mengunjungi anaknya sekolah di pesantren di daerah itu. Seperti kemarin, atap bagonjong hanya terlihat di rumah-rumah tua dan kantor pemerintah.

Topik Lain :  Sambut Ramadan, Ita Purnamasari Rilis Single Religi Versi Baru dari Karya Klasik

Yang mengagetkan, saat menelusuri jalan desa ini, di Nagari Salo kami kembali bertemu Oom Rian. Seperti kemarin, Oom Rian tengah asyik memacu federalnya. Kami saling tertawa saat berpapasan. Sama sekali tidak menyangka akan ketemu lagi di jalan. Oom Rian akhirnya berterus terang sedang berlatih. Tiap hari dia bersepeda naik turun gunung di sekitar Bukittinggi.

“Rencananya akan ada Event Bentang Sumbar. Kalau memungkinkan saya mau ikut,” katanya sambil tertawa. Yang namanya event bentang. Biasanya menempuh jarak tertentu dengan waktu yang dibatasi.

Oom Rian akhirnya putar arah. Menemani kami hingga ke jalan raya. Dia cukup hapal jalan-jalan kecil daerah itu. Dibawanya kami melewati daerah-daerah dengan lanskap pemandangan Gunung Singgalang. Keren banget. Karena kali ini tidak tertutup awan.

Di daerah Simpang Beringin Gadut kami berpisah. Oom Rian belok kiri ke arah jalan pulang ke rumahnya, sementara kami masuk jalan lintas Sumatra ke arah Medan.

Masuk kembali ke jalan utama kembali bertemu mobil-mobil besar. Truk dan bus. Beberapa kali disalip atau papasan dengan Bus ALS (Antar Lintas Sumatera). Bus paling legendaris di Sumatra. Untungnya cuaca cukup bersahabat. Agak mendung-mendunglah.

Sekitar 10 km dari Simpang Gadut ketemu tanjakan lumayan pedas. Saya menikmati tanjakan ini dengan semangat karena memang pengen keluar keringat. Dengan berkeringat, badan yang tadinya terasa mau demam, jadi normal lagi.

Di sebelah kanan jalan ada bangunan megah bertingkat. Terlihat keren sekali. Rupanya hotel berbintang. Sepertinya yang dijual adalah view kota Bukittinggi.

Di seberang hotel itu ada masjid. Kami pun masuk situ. Untuk sekadar beristirahat sekaligus buang air kecil. Masjidnya kosong melompong. Ada di komplek pesantren yang tidak beroperasi lagi di situ lantaran pindah ke lokasi lain. Penjaga komplek itu pria asal Cirebon yang beristrikan orang Payakumbuh. Kami berbincang-bincang dengan bahasa Sunda Cirebonan.

Setelah itu kami lanjut lagi. Dan ternyata tanjakan belum berakhir. Hingga daerah Palupuh. Sepeda harus digowes dengan gigi rendah.

Setelah Palupuh jalan mulai menurun. Hingga kami melipir di Masjid Nurul Hikmah di daerah Sipisang. Kebetulan lokasi masjid persis pinggir kali yang airnya mengalir deras. Di terasnya ada pula meja. Cocok betul untuk membuka bekal yang tadi dibungkuskan Bu Anidar. Suara air yang mengalir di samping masjid membuat suasana makan siang kayak di Rumah Makan Sunda.

Topik Lain :  Sumber Air Masih Jauh

Kehadiran kami karuan saja menarik perhatian. Terutama anak-anak. Kebetulan mereka rombongan baru pulang sekolah.

“Dari mana Oom?”
“Mau ke mana Oom?”

Setelah mereka puas bertanya-tanya, giliran saya balik bertanya.
“Siapa pelatih Timnas Sepak Bola sekarang?”
“Sin Tae Yong,” si anak yang menjawab benar paling cepat saya kasih hadiah gantungan kunci. Lumayanlah untuk bikin rame.

Saat bergerak lagi, gerimis mulai datang. Mula-mula kecil saja. Kami melaju terus. Tapi saat makin deras, akhirnya kami neduh juga. Pas di tempat tukang jualan sate padang. Di situ ada yang sedang neduh juga. Ternyata mekanik touring motor gede. Saat kenalan, eh dia dari Bandung juga. Dari Jalan Pajajaran dekat Pemakaman Sirna Raga. Maka berbahasa Sundalah kami.

Setelah hujan agak mereda, kami gowes lagi. Masuk ke daerah Bonjol. Sesuai namanya, daerah ini adalah tempat asal pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol. Dalam tradisi adat Minangkabau, Tuanku merupakan gelar kehormatan bagi pemimpin agama. Hanya ulama yang telah menguasai ilmu Agama Islam yang berhak mendapatkan gelar ini. Tuanku Imam Bonjol berjasa melawan Belanda dalam Perang Padri.

Di Bonjol ini ada gapura tanda kita melintasi Garis Khatulistiwa. Adalah garis khayal keliling bumi, terletak melintang pada nol derajat yang membagi bumi menjadi dua belahan yang sama. Yaitu belahan bumi utara dan belahan bumi selatan.

Alhamdulillah, kini saya sudah masuk lintang utara. Di gapura ini banyak yang berhenti untuk ambil foto. Saya pun begitu. Daerah ini memang jadi objek wisata. Selain ada gapura, ada pula Taman dan Museum Tuanku Imam Bonjol.

Sebagaimana daerah wisata, ada pedagang asongan yang menawarkan dagangannya. Kebanyakan berjualan kaos bergambar Garis Khatulistiwa atau gambar Tuanku Imam Bonjol.

Mengetahui saya dari Bandung, seorang pedagang terus menguntit saya. Dia mengajak berbicara bahasa Sunda. Mengaku berasal dari daerah Pasar Atas Cimahi. “Sarua ti Bandung mah, meuli atuhlah,” katanya merayu. Saya jawab dengan senyum saja, karena memang saya tidak ingin berbelanja.

Setelah puas di Garis Khatulistiwa kami kembali melanjutkan perjalanan. Hujan sudah benar-benar berhenti. Badan saya pun sudah terasa lebih segar.

Menjelang maghrib kami masuk kota Lubuk Sikaping, ibu kota Kabupaten Pasaman. Ini kabupaten terakhir di Sumatra Barat yang berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara.

Kamis, 22 Agustus 2024

Taufik Abriansyah