Day 26: Kota/Kabupaten ke-33 yang Saya Lewati Sejak dari Bandung Barat

Santai496 Views

GITULAH.COM PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.

Day 26

Jambi – Muara Tembesi

Pagi ini saya ketemu pempek lagi saat sarapan. Cek Yet menyiapkan nasi gemuk juga. Tapi karena tidak begitu lapar, nasinya saya bawa saja sebagai bekel. Nasi gemuk adalah sebutan untuk nasi uduk.

Tadi malam saya tidur di kamar Wisnu. Enak dan pulas. Sebelumnya, saya ngobrol-ngobrol dengan Cek Fetty, Cek Yet, dan Cek Da. Mulai dari makan malam bareng setelah Maghrib, hingga hampir jam 21.00.

Selain nasi gemuk, Cek Yet juga membekali saya buah-buahan dan biskuit. Sementara Cek Fetty ngasih kerupuk kempelang kulit ikan.

Sekitar jam 08.00 saya meninggalkan kediaman Cek Yet. Seperti yang lalu-lalu kali ini saya mengandalkan petunjuk googlemaps untuk mencari jalan menuju jalan lintas Sumatra. Biasanya maps memberikan jalur tercepat. Tapi maps tidak tahu jalur yang akan dilalui tengah mengalami perbaikan.

Itulah yang saya alami. Sesuai petunjuk maps saya masuk Lorong Rukun sebagai jalan tembus dari Jalan Yulius Usman ke jalan raya. Ternyata sedang ada pengecoran jalan. Ada plang tanda jalan ditutup.

Untungnya beberapa bapak- bapak yang sedang berada di sana mengizinkan saya lewat. Bahkan ada yang ngajak mampir ngopi dulu.

Lorong itu mengantarkan saya ke Jalan Raya Lintas Sumatra. Tidak jauh dari Graha Pena Jambi Ekspres. Gedung itu tampak megah. Tapi kelihatan sepi.

Berada di jalan lintas Sumatra, kembali saya berada di antara mobil-mobil besar. Apalagi setelah melewati jalan ke arah Terminal Alam Barajo, makin banyak bus yang lewat.

Cuaca cukup bersahabat. Tidak terlalu panas, tapi juga tidak mendung. Jalur jalan juga cenderung rata. Masih enak untuk bersepeda. Sekitar satu jam mengayuh, saya bertemu gerbang perumahan Citra Raya. Sesuai petunjuk Wisnu tadi malam, saya masuk ke perumahan itu. Komplek perumahan mewah ternyata.

Ini jalur lebih pendek ketimbang melalui jalur utama lintas Sumatra. Juga lebih sepi. Karena hanya mobil-mobil travel saja yang lewat sini. Tantangannya adalah jalan lebih kecil, dan sepinya itu.

Topik Lain :  Maumere Akhir Gowes di Flores

Saya menyusuri jalan utama komplek ini. Sepi memang. Sekalinya ada kendaraan yang lewat, lajunya sangat kencang. Ada sekitar lima kilometer saya jalan di komplek yang sebagian besar masih merupakan lahan kosong.

Di antara bangunan yang sudah ada, yang cukup menarik perhatian saya adalah masjidnya. Namanya Masjid Al Jabbar. Mirip nama masjid yang jadi ikon wisata baru di Bandung. Tapi Al Jabbar yang satu ini tidak semegah yang di Bandung. Dan tampak kosong pula.

Keluar dari komplek perumahan, saya masuk daerah Sungai Duren. Sudah makin sepi, dan ketemu belukar lagi. Beberapa kilometer kemudian ketemu kesibukan pembangunan jalan tol.

Perut saya terasa mulas. Tanda-tanda panggilan alam. “Wah celaka ini kalau tidak tahan,” pikir saya dalam hati. Sepeda saya kayuh cepat. Berharap segera ketemu perkampungan.

Untungnya tidak lama kemudian saya masuk wilayah Dusun Harapan Desa Muhajirin Kecamatan Jaluko. Begitu melihat masjid, saya langsung melipir. Bergegas ke toiletnya.

Setelah perut lebih ringan, saya berselonjor di teras. Masjid Nurul Hidayah ini sangat bersahabat dengan musafir. Tersedia kopi, teh, gula, dan makanan ringan. Saya bikin kopi.

Nasi gemuk bekel dari Cek Yet tadi saya selesaikan. Makin nikmat ditambah kempelang kulit dari Cek Fetty. Selesai makan, saya nyender lagi.

Setelah jalan lagi beberapa kilometer kemudian ketemu simpang tiga. Simpang Buluh. Ini rupanya ketemu dengan jalan raya lintas Sumatra lagi. Saya belok kiri.

Daerah ini sudah masuk wilayah Kabupaten Batahanghari. Ibu Kotanya Muara Bulian. Saya ingat punya saudara yang tinggal di Muara Bulian. Namanya Anshori. Tapi saya memanggilnya Mang Celi.

Dari info yang saya dapatkan, rumah Mang Celi berada tidak jauh dari SPBU. Namun SPBU pertama yang saya lihat ada di daerah yang masih berjarak sekitar enam kilometer dari Muara Bulian.

Saya masuk kota Muara Bulian dengan pelan. Hari masih siang. Ini merupakan kota/kabupaten ke-33 yang saya lewati sejak berangkat dari Bandung Barat. Melewati Kabupaten Purwakarta, Karawang, hingga Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi.

Di Muara Bulian saya mampir di Mushola Babul Jannah. Menarik perhatian saya karena ada tulisan besar berbunyi “Silakan Ambil Sendiri” . Banyak sopir yang mampir ke mushola ini. Dan tentu saja kehadiran saya menarik perhatian. Saya ditanya-tanya tentang kegiatan touring ini. Mereka terheran-heran karena saya jalan sendirian.

Topik Lain :  Menparekraf: Investasi Hijau dan SDM Kunci Utama Pengembangan Pariwisata ke Depan

Saya melepaskan diri dari berbagai pertanyaan dengan cara mendorong sepeda keluar dari mushola. Mengayuh sepeda, dan mampir di Alfamart. Beli gas portabel dan pocari. Setelah itu saya kembali melaju cepat.

Masuk kota Kecamatan Muara Tembesi masih sekitar Ashar. Jarak yang saya tempuh sudah 68 km lagi. Tapi daripada kemalaman di jalan tidak menemukan tempat menginap, saya memilih mencari penginapan di Muara Tembesi.

Saya memang punya aturan tidak tertulis untuk tidak gowes di malam hari. Batasnya sebelum Maghrib. Ini supaya keluarga relatif lebih tenang. Kebayang aja saya gowes malam hari melewati hutan sendirian.

Meski hanya kota kecamatan, Muara Tembesi cukup ramai. Maklumlah kota ini merupakan persimpangan menuju Sarolangun dan menuju jalan Lintas Tengah Sumatra.

Di satu bangunan saya melihat ada toko sekaligus penginapan. Saya melipir ke situ. Saat membuka hape, saya baru menyadari hape saya bermasalah lagi. Tdak bisa menangkap sinyal paket data. Untungnya masih bisa menangkap wifi yang disediakan penginapan.

Saat itulah saya baru sadar ada banyak missed call di whastapp. Waduh, dari Mang Celi yang tinggal di Muara Bulian. Saya telepon balik.

Mendengar posisi saya sudah di Muara Tembesi, Mang Celi langsung kesal.

Laillahailallah. Sudah teliwat. Ngapo kau dak ngangkat-ngangkat telepon,” katanya.

Mang Celi ini sepupu bapak saya. Dulu waktu masih kecil saya beberapa kali bertemu dan diajak bermain oleh Mang Celi. Pokoknya cs lah. Wajar kalau beliau dongkol karena saya tidak mampir di Muara Bulian.

Saya hanya bisa minta maaf dan mohon Mang Celi mengikhlaskan belum rezekinya kita bertemu. Sejak itu Mang Celi terus memantau saya. Di Muara Tebo saya harus mampir di rumah Mang Eman (adiknya), dan di Muara Bungo harus mampir ke rumah Iyes dan Sri (dua keponakannya).

Gowes ke Sabang KM 0 Indonesia yang saya lakukan ini memang sekaligus misi silaturahmi.

Selasa, 13 Agustus 2024

Taufik Abriansyah