Dirayakan dengan Potong Rambut

Santai11 Views

GITULAH.COM Day 55 [Merauke]

Pengantar Redaksi: Taufik Abriansyah, seorang pegowes sepeda asal Cipageran, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akan melanjutkan rencana perjalanannya mengayuh dari Cipageran-Sabang-Merauke yang sudah dia lakukan beberapa bulan lalu. Setelah rute Cipageran-Sabang, kali ini mantan wartawan ini mulai menjelajahi rute Cipageran-Merauke. Gitulah.com menurunkan catatan perjalanan Taufik mulai Selasa (6/5/2025). Selamat mengikuti.

RASA senang meliputi perasaan saya seturun dari kapal. Saat turun dari kapal, sepeda saya dorong dengan sangat perlahan. Soalnya ban belakang dalam keadaaan kempes.

Karena sangat lambat, antrean di belakang saya jadi tersendat. Seorang prajurit TNI lalu naik ke tangga, menjemput. Dia kemudian mengangkat sepeda turun. Alhasil, Si Lady yang duluan menginjak tanah Papua. Saya baru beberapa detik kemudian.

Anggota TNI itu adalah Praka Irwan, yang sedang mudik menengok orang tuanya di Merauke. Naik dari Ambon. Tempat tidurnya satu deretan dengan saya. Selama di perjalanan, dia beberapa kali membantu saya dititip ngambil jatah makan. Apalagi saat saya dalam kondisi mual-mual dua hari terakhir.

Praka Irwan baru berusia 29 tahun. Masih bujangan. Saya candain dia : “Gimana kalau kamu saya jodohin dengan anak saya saja?” Dia cuma tersenyum.

Saat mengetahui saya sedang touring bersepeda dari Sabang sampai Merauke, dan di Merauke saya tidak punya keluarga, dia menawarkan saya untuk menginap di rumahnya. Tawaran simpatik ini terpaksa saya tolak.

Di Pelabuhan Merauke tadi malam saya dijemput Mas Kalim. Teman dari kawan saya di Bank Papua: Anton S Raharjo. yang kebetulan punya rumah di Merauke. Dia saat ini bertugas di Waropen. Meski sudah tahunan tidak bertemu, kami masih menjaga komunikasi.

“Om nanti Merauke di rumah saya saja. Aman,” kata Om Anton, saat mengetahui rencana touring saya. Rumah Anton ditunggu Mas Kalim, dan anak buah kapal perantau yang tidak punya tempat tinggal.

Saat masuk perairan Pelabuhan Merauke saya sudah kontak Mas Kalim. Saya ceritakan kondisi ban belakang sepeda dalam keadaan kempes. Nah, tadi malam, Mas Kalim datang menjemput sambil membawa pompa sepeda. Jadi saya bisa langsung mengayuh menuju rumah Om Anton yang berlokasi di daerah Jalan Brawijaya.

Mas Kalim sudah menyiapkan kamar untuk tempat saya beristirahat selama beberapa hari di Merauke. Alhamdulillah. Saya bersyukur, kembali dipertemukan dengan orang baik dalam perjalanan touring ini.

Sebelum tidur, saya memberi kabar kepada keluarga dan beberapa teman bahwa saya telah tiba di Merauke. Kabar itu kemudian nyebar ke yang lain. Pagi ini beberapa media online memberitakan pencapaian saya. Keren.

Tinggal satu etape lagi yang akan saya jalani. Yaitu rute Merauke – Sota, di mana Tugu Nol Kilometer Indonesia berada. Lokasi ini merupakan perbatasan langsung dengan negara tetangga: Papua New Guinea (Papua Nugini). Jaraknya sekitar 75 kilometer dari Merauke.

Topik Lain :  Day 22: Selamat Datang Bumi Serasan Sekate

Saya berencana baru besok lanjut ke Sota. Hari ini saya mau agak nyantai dulu. Setelah sekitar satu minggu di atas kapal, sejak dari Baubau (Sulawesi Tenggara), saya masih klinyengan. Jadi saya mau gowes putar-putar dalam kota Merauke saja.

Pagi ini Mas Kalim mengajak saya sarapan bareng. Ada Mas Rasmono, Mas Riswanto, dan Om Jay. Di meja yang diletakkan di teras. Ini rumah halamannya luas sekali. Ada berbagai tanaman, kandang ayam, dan peralatan perbengkelan. Rumah ada 2 pintu. Satu pintu ditunggu Mas Kalim bersama istri. Satu pintu lagi oleh anak kapal. Mereka bekerja di kapal pencari ikan.

Namun, saat tidak melaut seperti sekarang ini, Mas Kalim bersama anak-anak kapal punya kesibukan memperbaiki mesin kapal yang rusak. Sekitar jam 10.00, mereka berangkat ke “kantor”, tinggal saya sendirian di rumah. Satu jam kemudian saya juga bergerak.

Dari rumah Om Anton saya keluar ke Jalan Brawijaya. Sering disebut Libra karena merupakan jalan lingkar. Singkatan dari Lingkaran Brawijaya. Di perempatan ada tugu yang dikenal sebagai Tugu Libra.

Di tugu itu ada tulisan yang merupakan semboyan Merauke : “Izakod Bekai Izakod Kai”. Maknanya kira-kira: Bersatu dalam perbedaan, berbeda dalam kesatuan.

Ini bukan kali pertama saya ke Merauke. Tahun 2009 saya pernah ke sini. Juga ke Sota. Menghadiri peresmian gedung kantor Bank Papua Cabang Merauke. Dalam rombongan saya, ada aktor yang juga penyanyi Edo Kondologit.

Satu kenangan dari acara itu adalah saya menyaksikan Kaka Edo menyanyikan lagu “Aku Papua” dengan sangat ekspresif. Sampai kini saya jadi ingat syairnya: “Biar nanti langit terbelah aku Papua”.

Di perempatan Tugu Libra ini ada masjid terbesar di Merauke. Yaitu Masjid Raya Al Aqsha. Ada cerita lucu di masjid ini yang saya dapat dari seorang warga. Pernah ada kejadian beberapa tahun lalu masjid dipenuhi warga. Baik yang Muslim maupun yang non-Muslim. Gara-gara ada kabar terjadi tsunami di Jepang dan dampaknya akan sampai Merauke.

Belajar dari pengalaman tsunami dahsyat yang melanda Aceh tahun 2004, di mana Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh selamat dari sapuan tsunami, warga menganggap masjidlah tempat yang paling aman untuk mengungsi. Sebab di Merauke sama sekali tidak ada dataran tinggi.

Dari Masjid Al Aqsha saya bergerak lagi ke Jalan Parakomando. Turun hujan. Saya segera neduh di sebuah warung kopi. Di halamannya ada tergantung sepeda. Sepertinya ini semacam tempat nongkrong goweser Merauke.

Topik Lain :  Njir, Gowes ka Papua

Di situ juga ada pedagang telur. Di sini telur dijual tidak dalam kiloan. Tapi per “papan”. Satu lantai tray. Isinya 30 butir telur. Harganya antara Rp 80 ribu sampai Rp 95 ribu. Tergantung besar kecilnya ukuran telur.

Lumayan lama saya nunggu hujan reda. Lanjut lagi jalan dalam keadaan basah. Becek air bercampur lumpur. Bersepeda jadi kurang nyaman.

Di depan RSUD di Jalan Mandala saya menemukan tanda Kilometer Nol Merauke. Asli secara tidak sengaja. Tanda yang menurut saya cukup ganjil. Karena tulisannya terbalik. Kalimatnya pun yang berbunyi Merauke 0,0 cukup ganjil. Bukan Merauke 0.

Tidak jauh dari situ ada Gedung Negara. Di sini Gubernur Papua Selatan berkantor. Ini provinsi baru beberapa tahun. Gedung Kantor untuk Pak Gubernur sedang dalam proses pembangunan.

Lanjut gowes lagi, mendung lagi. Sepertinya hujan akan turun lagi. Masuk ke area pelabuhan, saya melewati kantor PELNI. Di situ ada terpampang jadwal kapal yang akan merapat di Merauke. Paling dekat ada di hari Senin tanggal 7 Juli. Jadi kalau naik kapal lagi, baru dua minggu lagi saya bisa pulang.

Saya gowes sampai daerah Kelapa Lima. Hujan turun pas saya neduh di Kantor DAMRI. Ada anak asli Papua yang ikut neduh di situ. Dia asik main game dengan tabletnya. “Bapa jangan ajak sa bicara,” katanya waktu saya tegur. Dia lagi konsentrasi main bola. Hujannya deras dan cukup lama.

Setelah hujan berhenti baru saya jalan lagi. Hari sudah masuk Asar. Perut saya mulai lapar. Di sini ada banyak warung nasi Padang. Harganya masih cukup bersahabat, dan sesuai selera. Di tempat makan ini saya kembali tertahan karena hujan deras turun lagi.

Untungnya di sebelah warung nasi ada tempat pangkas rambut. Saya bergeser ke situ. Saya sudah niat untuk cukur rambut di Merauke. Semacam syukuran mencapai kota paling timur Indonesia. Sebagaimana juga saya lakukan waktu gowes sampai Sabang tempo hari.

Cerita belum selesai. Tempat saya cukur ini bernama “Kaka Nong”. Anak muda berumur 25 tahun, berasal dari Maumere. Nusa Tenggara Timur.

Saya duduk di kursi pangkas dan menyerahkan kepada Kaka Nong mau dipotong jadi gaya apa. Saya memang tidak terlalu rewel urusan model apa. “Ko bikin pendek sudah,” kata saya.

Yang mengejutkan saya adalah jawaban Kaka Nong saat mulai memotong rambut saya. “Om minta maaf. Ini hari pertama sa buka usaha potong rambut,” katanya. Waduh.

Merauke, 23 Juni 2025

Taufik Abriansyah