GITULAH.COM — PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.
Day 18
Palembang
Sarapan di hari pertama di Palembang ini saya sudah disuguhi pempek. Di Palembang makan pempek memang tidak kenal waktu. Bisa untuk sarapan, siang hari, untuk minum teh di sore hari, atau untuk kudapan malam.
Waktu sarapan ini saya gunakan untuk bercengkerama dengan kakak saya, Taufan dan keluarganya. Taufan menikah dengan Sukarsih, yang adalah teman saya sewaktu masih SMA di Palembang dulu. Mereka memiliki tiga anak perempuan ; Mega, Maya, dan Shella.
Nah, yang bontot ini, yang umurnya masih 20-an tahun justru yang sudah menikah. Dan punya bayi berumur lima bulan, Zasye. Karena Zasye ini jadilah saya dipanggil Yai juga.
Selain ditambah suaminya Shella, Zaky, di rumah ini tinggal pula ibunya Sukarsih, Mami. Meski sudah sepuh, Mami masih kuat naik turun tangga. Padahal penglihatannya sudah tidak bagus, lantaran matanya kena katarak. Tapi Mami ini punya keistimewaan. Konon dia dikawal khodam-khodam mahluk supranatural yang sekali-sekali suka berkomunikasi. Entahlah.
Taufan memberi tahu bahwa keluarga besar dari pihak ibu ingin mengadakan semacam pertemuan dengan saya. Gowes dari Bandung ke Sabang ini rupanya jadi perhatian keluarga. Direncanakan berlangsung Rabu lusa. Alhasil saya baru bisa melanjutkan perjalanan pada hari Kamis.
Saat sedang nyantai itulah, Cik Yathie, kerabat yang tinggal di Prabumulih mengabarkan tidak bisa gabung ikut pertemuan keluarga karena terkendala jarak. Cik Yathie menyesalkan tidak bisa bertemu saat saya melintas di Prabumulih.
Cik Yathie keukeuh minta nomor rekening karena ingin berpartisipasi dalam perjalanan touring saya ini. “Sebagai tando cinto, kepada ananda yang kreatif,” katanya. Alhamdulillah.
Sekitar jam 10 saya keluar rumah. Pannier dan tenda saya tinggalkan di rumah. Yang saya bawa adalah baju-baju kotor untuk dicuci di laundry. Di dekat tempat tinggal saya di daerah Sekip Pangkal itu banyak sekali yang punya usaha laundry.
Dibanding touring-touring saya sebelumnya, kali ini saya lebih banyak menggunakan jasa laundry ketimbang mencuci sendiri. Selain kesulitan mengatur waktu untuk menjemur, nyuci di laundry bisa dibilang murah juga.
Dari tempat laundry saya menuju daerah Puncak Sekuning. Di sini ada pemakaman tempat nenek dan bapak saya dimakamkan. Kali ini saya menziarahi mereka dengan membawa sepeda. Untungnya kami punya lahan pemakaman keluarga yang relatif lebih rapi dan punya akses pintu masuk sendiri. Di komplek ini ada juga makam keluarga Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.
Dari Puncak Sekuning kemudian saya ke Jalan Merah Putih, ada rumah makan masakan Palembang yang sangat enak. Saya janjian dengan Syarif Abdullah, Kepala Biro LKBN Antara Palembang.
Syarif ternyata teman lama di Bandung, saat saya masih aktif sebagai wartawan. Dan dia seorang goweser juga, maka makin larutlah kami ngobrol-ngobrol. Syarif sempat menunjukkan potongan berita di Antara tentang saya. Wah, otw jadi terkenal ini.
Setelah Ashar baru kami saling berpamitan. Dan tentu saja Syarif yang bayar. Sebelum berpisah kami sempat foto bareng, yang kemudian menarik perhatian pegawai rumah makan itu.
Kembali ke rumah saya bertemu dengan Mesiang, tetangga sebelah teman bermain waktu kecil dulu. Dia geleng-geleng kepala melihat saya datang dari Bandung dengan sepeda. “Gilo nian kau ni,” katanya.
Saat maghrib, saya segera melipir ke Masjid Al Ikhlas, yang letaknya tidak jauh dari rumah. Ini masjid favorit saya setiap pulang kampung. Selain karena bisa sejenak merasakan hawa dingin AC, di seberang masjid ada warung makanan khas Palembang: tekwan dan model. Model adalah makanan berkuah mirip dengan tekwan. Hanya saja model dibuat seperti pempek kapal selam yang berisi tahu goreng dan memiliki kuah yang lebih manis. Malam ini saya melepaskan kerinduan saya makan model gendum. Jenis makanan ini tidak pernah saya temui di kota lain. Kalau model ikan dan tekwan sih banyak.
Pulang ke rumah, agenda saya ternyata belum tutup. Taufan mengajak saya ke Kenten. Menemui sepupu dan mang yang tinggal di sana. Ada Mang Mustar dan Cek Rini.
Di Kenten kembali saya disuguhi pempek. Tapi kali ini ada es kacang merah. Semua sepupu saya yang tinggal di Kenten: Cek Rini, Edi, Yeyen, dan anak mantunya berkumpul menyambut saya.
Mereka setengah takjub, setengah menganggap saya orang gila. Kok, bersepeda sebegitu jauhnya.
Senin, 5 Agustus 2024
Taufik Abriansyah