GITULAH.COM — PENGANTAR REDAKSI: Mulai Jumat (19/7/2024) seorang penjelajah bersepeda bernama Taufik Abriansyah memulai ekspedisi “Gowes ke Sabang, Gowes ke Marauke”. Sesuai judulnya, mantan wartawan Majalah Tempo ini berniat gowes ke ujung barat dan timur Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat Allah dan merayakan Indonesia. Mulai Senin (22/7) gitulah.com menurunkan ekspedisi tersebut. Selamat membaca.
Day 17
Prabumulih – Palembang
Pagi ini saya merasa sangat senang. Pasalnya, rute yang akan saya tempuh hari ini adalah rute terakhir, Segmen 1, sampai ke kota Palembang.
Menuju kota Palembang yang merupakan kota kelahiran tentulah sangat menyenangkan bagi saya. Apalagi ini dengan sepeda. Sebuah pencapaian yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Dari tempat saya menginap di Prabumulih, jaraknya ada sekitar 95 km. Jarak yang ideal. Kalau semuanya lancar, sebelum maghrib saya pasti sudah tiba.
Selesai nyeduh dan minum kopi, sekitar jam 07.30 saya bergerak. Saya ingin mampir dulu ke Rumah Sakit Bunda, untuk membesuk Nyai Ron, salah seorang kerabat, yang kebetulan sedang dirawat di sana.
Di Prabumulih ini saya punya kerabat dari pihak bapak dan pihak ibu. Yai Halim Nanung dan Yai Dentjik Murod. Dulu waktu masih kecil, saya sering diajak menemui mereka. Kini mereka sudah meninggal. Nyai Ron adalah istri dari Yai Halim.
Setelah melewati jalan rel kereta api, saya belok kiri ke arah Jalan Angkatan 45, lokasi RS Bunda berada. Sebelum tiba di RS, saya melihat ada plang papan tanda Prabumulih. Tentu saya ambil beberapa foto.
Tiba di RS, sempat berliku juga sebelum akhirnya saya berhasil masuk ke kamar tempat beliau dirawat. Sedihnya, Nyai Ron tidak terlalu mengenali saya. Entah mungkin sudah terlalu lama tidak bertemu. Entah karena kondisinya sedang sakit. Tapi tidak apalah. Saya tidak berkecil hati. Paling tidak saya masih bersilaturahmi dengan Cek Nur, salah seorang anaknya.
Dari RS, saya mengayuh kembali ke jalan raya menuju Palembang. Di KM 5 ada gapura raksasa Selamat Datang di Prabumulih. Tapi ini bukan batas kota, melainkan pertigaan menuju jalan bypass.
Di bawah Gapura, ada lima anak sedang bersepeda. Mereka lalu mendekati saya. Dan bertanya-tanya. “Capek dak , mang?”
Menutup perbincangan kami, saya kasih mereka kuis dengan hadiah gantungan kunci.
“Siapa nama Menteri Pendidikan?”
Tidak ada yang menjawab.
“Siapa pelatih timnas sepak bola sekarang?”
Lagi-lagi mereka saling berpandangan.
“Siapa nabi yang pertama?,”
“Nabi Adam !”
Barulah saya beri kepada satu anak, hadiah gantungan kunci.
Setelah gapura ini terdapat banyak kantor instansi pemerintahan. Antara lain Kantor Pemkot, Kantor Kejaksaan, dan Kantor Polres. Kontur jalan cenderung datar. Saya bisa mengayuh dengan stabil rata-rata 20 km/jam. Cuaca belum begitu panas. Di KM 13 ada gapura lagi. Kali ini batas wilayah kota Prabumulih dengan Kabupaten Muara Enim. Yang menarik, beberapa kecamatan di sebelah timur Kota Prabumulih ini menjadi semacam enclave (daerah terpisah) Kabupaten Muara Enim.
Di daerah Lembak saya melihat banyak warung oleh-oleh khas Palembang. Ciri khasnya terlihat dari kempelang (seperti kerupuk) digantung di tiap warung. Saya lewat saja. Saya baru mampir di warung kopi yang berada di Desa Karangendah, karena perut saya mulai keroncongan. Saya sarapan mie goreng plus pop ice rasa avocado.
Pemilik warung adalah Pak Roni, laki-laki berusia 75 tahun. Lumayan sepuh. Namun begitu, Pak Roni mengaku pengantin baru. Baru bulan lalu dia menikah dengan tetangga yang berusia 71 tahun.
“Istri saya sudah lama meninggal. Pak Ustadz dan masyarakat lalu menjodohkan dengan istri saya sekarang,” katanya.
Saat berada di warung Pak Roni inilah, saya baru menyadari sepatu saya jebol. Berhari-hari berpanas-panas diajak gowes ribuan kilometer, sepatu saya nyerah juga.
Iseng, sepatu jebol itu saya posting di status whatsapp. Dan mendapat berbagai komentar.
“Ane beliin yang baru, kang,” tulis Agus Salim, salah seorang teman. Nah, ini baru keren.
Setelah cukup istirahat, saya mengayuh lagi. Melewati Markas Batalyon Kavaleri 5 DPC (Dwi Pangga Ceta). Saya masih ingat, dulu setiap kali lewat depan markas tentara ini, kendaraan yang saya tumpangi mendadak harus jalan pelan-pelan.
Hari ini tidak sepanas kemarin. Tapi, ya tetap panas juga. Saat makan siang di Desa Lorok, saya melihat ada helikopter bolak-balik mengangkut sesuatu.
“Itu helikopter bawa air. Ada kebakaran di sana,” kata si ibu pemilik warung sambil menunjuk ke arah belukar.
Sekitar jam 15.00 di KM 55 saya bertemu gapura raksasa “Selamat Datang di Indralaya. Ibukota Ogan Ilir”. Saya makin bersemangat mengayuh sepeda.
Di Universitas Sriwijaya saya berhenti sebentar. Ambil beberapa foto, dan segera mengirimkannya ke teman yang lulusan Unsri. Mungkin karena hari minggu, atau mungkin sedang libur, kampus terlihat sepi-sepi saja.
Beberapa meter kemudian saya bertemu dengan persimpangan ke arah Kayuagung. Simpang tiga ini sangat membekas di kepala saya, karena dulu menjadi tempat transit penumpang kendaraan umum. Saat itulah ibu-ibu pedagang asong menyerbu, “bongkol bongkol bongkol…,”
Bongkol adalah penganan khas daerah ini. Olahan dari beras ketan putih, kelapa parut, garam, dan dililit daun janur.
Melewati Simpang Kayuagung, saya mendadak seperti mendapat tenaga ekstra. Second wind. Saya memacu sepeda dengan kencang karena ingin segera sampai. Meski ada banyak pangkalan truk di situ, saya bisa melaju kencang karena bahu jalan sudah berupa aspal beton. Saya bisa ngebut dengan aman. Apalagi kontur jalan datar dan cuaca sore juga mendukung.
Saya belum Shalat Ashar. Tak melihat masjid, akhirnya saya melipir di SPBU Kertapati. Nama Kertapati berarti Palembang sudah dekat. Keluar dari pintu mushola saya lihat ada pedagang buah-buahan. Wah, ini namanya “pucuk dicinta tukang buah tiba”. Cocok pisan. Saya ingin sekali makan semangka.
Bersamaan dengan itu banyak yang mendekat ke saya. Bertanya dari mana,
mau ke mana. Yang bikin mereka makin terkejut waktu saya mengatakan sendirian saja. Tidak dalam rombongan. “Idak takut, mang?,”
Selesai pakai sepatu, saya dorong sepeda lagi, seorang pria berbaju kaos loreng mendekati saya. Anggota TNI yang pernah bertugas di Cimahi.
“Ini pak untuk sekadar beli rokok,” katanya.
“Maaf kang, terima kasih. Saya tidak merokok,”
“Ya untuk jajan atuh pak,” katanya sambil tertawa.
Beliau lalu mengambil tangan saya dan memberi sesuatu yang digenggamnya. Saya tak kuasa menolak.
Saya bergerak lagi meninggalkan SPBU dengan menggenggam sesuatu. Pastilah uang. Saat saya periksa jumlahnya Rp 50 ribu. Dua lembar uang Rp 20 ribu, dan selembar uang Rp 10 ribu. Alhamdulillah, rezeki goweser soleh.
Saya kembali memacu sepeda. Angkot kuning jurusan Kertapati mulai terlihat. Saya kira sudah sangat dekat, ternyata masih 15 km lagi.
Hari mulai menuju gelap. Kali ini saya betul-betul ngebut. Ngejar hari masih terang saat berada di Jembatan Ampera. Setiap berebut jalan dengan kendaraan lain, kali ini saya tidak mau mengalah. Kena antrean lampu merah saya terabas saja pelan-pelan.
Sekitar sepuluh menit menjelang maghrib, saya tiba di atas Jembatan Ampera. Ada peturing vespa dari Tangerang yang lagi nongkrong. Dan banyak orang juga sedang berfoto. Lalu terdengar adzan dari Masjid Agung. Jaraknya hanya beberapa meter saja dari Jembatan Ampera.
Saya arahkan sepeda ke Masjid Agung. Di tempat parkiran motor, saya ditegur pemilik motor lain yang hendak parkir. “Jangan di sini mang, kagek ilang. Di situ bae,” katanya sambil menunjuk ke tempat penitipan sandal.
Sepeda akhirnya saya parkir di samping tempat penitipan sandal. Persis di depan tangga pintu masuk imam masjid. Insya Allah, aman.
Saya maghriban dengan perasaan macam-macam. Campur aduk. Kurang khusyuk. Perasaan senang berada di Palembang dan berjamaah di Masjid Agung adalah sesuatu banget. Biasanya saya shalat di masjid ini hanya pada jumatan.
Dari Masjid Agung saya kemudian bergerak menyusuri jalan Jenderal Sudirman. Lampu-lampu di sepeda sudah dinyalakan.
Seperti biasa, sebelum ke rumah saya mampir dulu di Martabak HAR (Haji Abdul Rozak) yang ada di Simpang Sekip. Ini martabak legendaris sejak 7-7-1947 dari India, kesukaan saya. Martabak telur yang disajikan dengan kuah kari dan bumbu rempah yang dicampur kentang serta irisan daging. Di toko martabak ini sudah menunggu kakak kandung saya, Taufan, dan anaknya, Maya. Mereka berdua ikut merayakan keberhasilan gowes saya dari Bandung hingga Palembang. Ini sungguh monumental.