By Mentari
GITULAH.COM – Penemu GeNose Pendeteksi Covid-19, Prof. Dr. Eng Kuwat Triyana, M.Si., dikukuhkan dalam jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Fisika FMIPA UGM. Dalam pengukuhan yang berlangsung pada Kamis (12/10) di Balai Senat UGM, ia memaparkan pidato berjudul Inovasi Sistem Sensor Berbasis Kecerdasan Artifisial dan Tantangan Hilirisasinya.
Dekan FMIPA UGM ini dalam pidatonya memaparkan tentang inovasi dan pengembangan sensor gas berbasis kecerdasan buatan yang telah dilakukannya yakni hidung elektronik (GeNose) dan lidah elektronik (Elto). Ia menyebutkan ada beberapa tantangan dalam pengembangan sensor gas, termasuk meningkatkan selektivitas, sensitivitas, respons dan waktu pemulihan, stabilitas jangka panjang, dan pergeseran penuaan. Tantangan-tantangan ini sedang diatasi melalui berbagai pendekatan, seperti penggunaan material baru, teknologi nano, dan teknik machine learning.
Dalam kesempatan itu Kuwat turut membagikan pengalaman dalam menghilirkan inovasi yang dihasilkannya yaitu hidung elektronik (merek terdaftar sebagai GeNose C19) melalui beberapa tahapan panjang dalam rangka pemenuhan sesuai regulasi di Indonesia. Mulai dari uji profiling, uji standar di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Surabaya, uji diagnostik hingga produksi massal.
“Terkait hilirisasi GeNose C19, kami mendapatkan pembelajaran yang luar biasa banyak untuk ke depannya. Sebagai produk yang aplikasinya baru, penjaminan mutu GeNose C19 harus dilakukan, meliputi uji diagnostik pre-market dan post-market serta literasi dan dan peningkatan skill operator agar patuh kepada SOP yang telah ditetapkan,” ungkap dia, seperti dilansir laman resmi UGM.
Lebih lanjut Kuwat mengatakan persoalan utama hilirisasi dan komersialisasi produk inovasi khususnya alat kesehatan (alkes) di Indonesia meliputi beberapa aspek. Salah satunya, keterbatasan modal atau pembiayaan menjadi kendala dalam pengembangan produk alkes inovatif di Indonesia. Hal ini menghambat penelitian dan pengembangan produk alkes yang lebih maju dan berteknologi tinggi.
Kedua, lemahnya ekosistem produksi alkes nasional menjadi salah satu kendala yang dihadapi industri alat kesehatan di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, menurutnya perlu ada sinergi antara universitas, pemerintah, dan industri perlu ditingkatkan, termasuk penambahan fasilitas pengujian, pembuatan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pengujian alkes, dan penguatan industri bahan baku pendukung.
Ketiga, kurangnya koordinasi antara peneliti, pemerintah, dan industri juga menjadi masalah dalam hilirisasi dan komersialisasi produk alkes inovatif. Untuk mempercepat proses hilirisasi, peran industri perlu dilibatkan sejak tahap ide atau pembuatan proposal penelitian inovasi. Perusahaan swasta juga diharapkan dapat berkolaborasi dalam pengembangan produk alkes inovatif.
“Selain itu, 90% produk alat kesehatan di Indonesia merupakan produk impor yang menunjukkan bahwa industri alat kesehatan dalam negeri belum mampu memproduksi sebagian besar produk alat kesehatan berteknologi tinggi. Untuk mencapai kemandirian dalam industri alkes, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas produksi produk dalam negeri dan mendorong peningkatan jumlah produk hasil riset dan inovasi dalam negeri,” katanya. *