JAKARTA – Parliamentary Threshold (PT) merupakan ketentuan ambang batas parlemen yang telah diberlakukan sejak Pemilu 2009 dengan angka 2,5 persen, lalu terus meningkat seiring dengan adanya revisi Undang-Undang Pemilu, hingga terakhir ketentuan PT ini naik menjadi empat persen. Dan hingga hari ini, ketentuan PT dinilai menjadi antara partai politik (parpol) besar dan kecil.
Persoalan tersebut mencuat dalam webinar bertajuk ‘Parliamentary Threshold: Sebuah Tantangan Bagi Partai Baru’ yang digelar Program Magister Ilmu Komunikasi, konsentrasi Komunikasi Politik, Universitas Mercu Buana (Mikom UMB), Sabtu (18/6). Hadir dalam webinar Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr. Elly Yuliawati, M.Si dan Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Dr. Heri Budianto, M.Si.
Dosen Komunikasi dan Kebijakan Publik Mikom UMB Syaifuddin menyampaikan, PT merupakan salah satu komponen penting sistem pemilu. Dan untuk mencari solusi tentang benang kusut PT ini, pembahasannya tidak bisa berhenti pada persoalan PT, karena PT tidak berdiri tunggal dalam sistem hukum kepemiluan. “PT saling terkait dengan komponen lain dalam sistem pemilu kita, tapi ada sifat interdependensi, saling ketergantungan antara satu komponen dengan komponen lainnya, electoral threshold, presidential threshold, sistem proporsional, dengan sistem multipartai, dengan sistem presidensial dan seterusnya,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Budi ini melihat, perdebatan pembahasan PT empat persen sering terjadi di Komisi II DPR RI tapi gagal, karena masing-masing fraksi memiliki kepentingannya sendiri. “Bagi parpol yang kontra terhadap ketentuan PT, semakin besar PT berarti semakin besar suara rakyat terbuang. Jadi mustahil parpol di Senayan menurunkan PT,” paparnya. Menurut Budi, pembahasan PT ini menjadi ruang negosiasi senyap, terkait role play dalam kalkulasi dan tarik menarik kepentingan parpol. Pemberlakuan PT disebut Budi sebagai tindakan buta dan tuli karena tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang majemuk dan kondisi di daerah.
Sementara, anggota Komisi II DPR RI Rifqinizami Karsayudha mengatakan bahwa sembilan fraksi di DPR RI sepakat tidak ada revisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) untuk DPR periode ini. Sehingga, norma yang berlaku pada Pemilu 2024 adalah norma yang berlaku seperti Pemilu 2019, karena tidak ada norma baru dan perubahan.
“Karenanya, ketentuan PT dipastikan tetap digunakan sebagai dasar bagi partai-partai politik untuk berkontestasi dalam pemilihan legislatif 2024,” kata politikus PDI Perjuangan ini dalam pemaparannya. Rifqi menegaskan ketentuan PT ini hanya berlaku di tingkat nasional.
Rifqi menambahkan salah satu indikator pelembagaan parpol adalah parpol itu memiliki basis konstituen yang kokoh, yang dibalut dalam suatu ideologi parpol masing-masing untuk diuji di pemilu. “Ini yang seharusnya dikuatkan. Semakin parpol terlembaga maka semakin sehat dia. Angka empat persen adalah angka yang moderat menurut pandangan kami sehingga memungkinkan partai-partai baru untuk tetap bisa eksis di DPR RI atau parlemen di tingkat nasional,” paparnya. Dia juga menekankan, tidak ada garansi bagi partai-partai yang sudah eksis di DPR kalu tidak merawat basis konstituen, termasuk kinerja wakil-wakilnya. “PT menjadi early warning untuk memastikan kekuatan akar rumput partai bekerja dengan baik,” tutupnya.
Koalisi Nonparlemen
Berapapun ambang batas yang diberlakukan, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Ferry Kurnia Rizkiansyah mengaku pihaknya sangat optimistis menembus ambang batas tersebut pada Pemilu Legislatif 2024 mendatang. Menurut eks Komisioner KPU RI ini, sejumlah persiapan juga telah dilakukan, antara lain dengan membuat Konvensi Rakyat Perindo sebagai sarana menjaring calon-calon legislator terbaik dan menggagas Koalisi Nonparlemen. “Konvensi Rakyat ini sudah dilakukan. Ini akan merubah narasi besar dan merubah proses demokrasi yang lebih proaktif. Kita juga menggagas Koalisi Nonparlemen,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyinggung adanya cara-cara kotor dalam Pemilu di Indonesia, yakni ‘serangan fajar’, perang alat peraga, pembagian bantuan sosial (bansos). “Setiap Pemilu seharusnya momentum memunculkan gagasan kebangsaan baru, membiarkan pemimpin kita untuk menunjukkan kemampuan menghadapi persoalan bangsa,” kata Fahri.
Fahri mengusulkan, semestinya pemerintah menanggung seratus persen biaya pemilu, termasuk dana untuk partai politik. Pasalnya, parpol dan para kandidatnya harus difasilitasi negara, sehingga tidak menyebabkan orang-orang yang punya banyak uang, menyelinap membiayai partai politik. “Jika biaya politik ditanggung tiap individu, nantinya tokoh politik merasa harus mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk jabatan tertentu,” gagasnya.
Fahri khawatir para tokoh politik sudah menganggap dana selama kampanye adalah biaya pribadinya, maka mereka akan berusaha mencari balik modal. Dampak lebih jauh dari fenomena politik itu adalah berpotensi menciptakan regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada masyarakat dan ancaman bagi demokrasi Indonesia, berupa potensi transaksi dalam politik. Maka, tegasnya, diperlukan keseriusan Pemerintah untuk membahas pembiayaan pemilu.